Saturday, January 28, 2006

The dog is in the house

Friday, January 27, 2006

Coffee, White Shirt and A Pair of Jeans

"hey"
"hey"
"you look good" she said as she sat down on the three seaters sofa next to me.
"thank's, you're the one who told me to wear this" I said. I can sniffed her familiar fresh scent as our knees touched briefly when she sat next to me.
'how are you" she asked.
"I'm well" I said again.
The waitress with a nice smile came bringing my order. I saw a red silicon wristband she wore on her wrist. It was the same one with what I have on my wrist. She noticed it too and we exchanged a brief solidarity smiles at each other.
"you ordered?" I asked
"yes, when I came in downstair....the usual" she answered lighting her Marlboro Light Menthol.
"kamu? seperti biasa....espresso ya?" she said pointing to the small white cup next to my laptop.
"what's that ?" she asked again looking at the plate the waitress just brought me earlier. "bagel...and creamcheese. ambil aja kalo mau" I told her to take the bagel for herself as I wasn't really hungry.
"Mmmm...looks good. I'm hungry.....boleh ya" she said.

Others came.
Bla...bla....bla....bla..................conversation started to fly around the table. The meeting has started. Sketches were examined and pictures from magazine as references are discussed and argued. ya udah nanti aja kalo di mobil deh kataku dalam hati. Dia ikut gue ngga ya? I was thinking silently in the midst of conversation and discussion about posture and hair style.

"remind me to buy a cigarette on our way home, ya" she said. Oh good, she is catching a ride home with me I thought silently again, relieved.
"oke, gue jalan dulu" one of them said.
"gue juga deh" the other one also telling us he's leaving
"oke, ampe ketemu" I said.
"gue email deh semua" one of them promised to email the sketches.
"makasih ya" she said. I always like the way she said that, I don't know why.

The table in that cafe suddenly turned quiet after they left. "wanna go?" kataku
"yuks" she said "ke toilet dulu ya" she added as she headed to the toilet.
"ok, I'll wait in the car" I said.

Walking out to the parking lot I stop by the street vendor to buy her cigarrette. She came out moments later and I gave her the pack of new Marlboro.
"lho kok udah beli?.....makasih ya" she thanked me.
I really loved the way she said thank you.

Cry me a river over the car speaker from Nina Simone.
"so, what was it all about kemaren?" I finally said.
"i was going to tell you.....but you called me first" she said
"couldn't help it.....you were distant" I said
" guess you know me that well" she said
"It's ok ....now that I know. Aku bisa ngerti" I said
"I guess it's the right thing to do, bukan? at least by the standard of everything around us" I added.
"like what?" she asked
"life, society.....whatever" I said
"I don't think that far.....I just want it to be good and right" she said.

The car stopped in front of a house on a narrow street.
"see you tomorrow" I said
"yes of course. we talked again tomorrow" she said
'bye" I said
"dadah" she said as she closed the car's door on her side.

That was then this is now. More coffees and cold beers has been drank together since then. Even a novel was completed and is edited for publishing. There were thousand of words posted as write-ups as well as there were countless minutes of phone conversations. Some were real, some were just silly, deep meaning, and confusing metaphors about what was real using icons ranging from foodie stuff like dark squid, lemon cheesecake, sweet marmalade to stuff like medieval armor suit, dog house, sport shoes, time travelling, a cliff - top home, and deep sea diving. Then was good. Now is also good, if you want it to be good I thought as I opened my closet and taking a white shirt from the hanger. I look briefly at a diving wetsuit hanged at the far side of the closet before closing the door. It hangs there like a symbol or gateway to another world. A different world parallel to this one. A world separated by open water and an oxygen tank.

Both worlds are home to me. But I live in this one. I wear my white shirt over a pair of washed out jeans and walk to the kitchen to make myself a cup of hot coffee. I then realize even my brand of coffee represent a methaphor. I look at the packaging and there it is printed on the front side, a visual of a globe and a butterfly. The tingling feeling I felt as if there are butterfly inside my belly everytime i travel to that other world in the different globe. No wonder I like this brand so much.

Both worlds are home to me. But the other one is a sweet metaphor of eating a delicious tangy fresh lemon cheesecake on an autumn rainy day.

Image source: queerstock on Getty Images

Monday, January 23, 2006

Kuliner : TIMO CATERING

TIMO CATERING
Jl. Terusan Timo (Gg. Gajah Mungkur) 39
Duren Tiga Selatan
Jakarta Selatan 12760
telp. +62 21 7971177, hp +62 816 1972791
Contact Person: Ibu Menul Sularto

Tragedi Cumi Hitam

"Ya yang waras ngalah lah" ucapnya sambil mengaduk - aduk garpunya kedalam sepiring gado-gado. Sementara itu jari tangannya satu lagi menari-nari diatas touch pad di Power Book Mac G4 nya untuk memamerkan layout print ad yang baru dibuatnya ke teman disebelahnya. "emang dia mau ngalah sama loe, jek?" kata temannya itu dan tertawa keras sekali. Aku dan dua teman lain di meja itu turut tertawa. "hah ?...sialan" katanya sambil meneruskan penjelasannya mengenai arti dari pesan iklan yang akan di muat di sebuah directory periklanan. "Jadi gambar ini kalo diliat dari sudut yang berbeda punya arti dan message yang berlainan. Bisa optimis, realistis, ilusionis ato juga pesimis" demikian dia menutup penjelasannya. Sementara itu dua temanku yang lain sibuk membicarakan jadwal rekaman untuk album terbaru mereka dan membahas studio mana yang akan mereka pakai.

Aku duduk menatap pesananku yang baru datang, cumi hitam dengan cabe hijau. "Looks good" kataku dalam hati. Suara - suara mereka terdengar jauh dan seperti gaung dalam kepala ku yang saat itu terasa seperti ruang hampa. Sesekali aku dengar tawa mereka dan bunyi sound alert Yahoo Messenger dari Power Book yang tersambung oleh Wi-Fi gratis di restoran dengan makanan khas Jawa yang menawarkan setting dan design interior seperti chilling lounge dan presentasi makanan a la fine dining.

Aku perhatikan tata letak makanan di piringku yang terlihat agak sepi dan kontras sekali dengan dekorasi minimalis antara warna tinta cumi yang hitam pekat, potongan besar cabe paprika dan nasi putih diatas piring lebar berwarna putih. "Looks good" gumamku dalam hati lagi. Sepi tapi kelihatannya enak. Hidangan ku malam ini membuatku kembali teringat akan santapan cumi yang berbeda di sebuah meja makan beberapa bulan yang lalu. Sebuah makan malam yang cozy dan berlanjut dengan obrolan yang kalau mengambil istilah dari seorang teman lain merupakan "mind blowing conversation" di teras rumah dengan banyak tanaman hijau. Aku tersenyum. Senyum pahit. Pahit karena rasa sepi dan getir di hati atau karena lapar yang terasa sejak tadi sore, akupun tidak tahu pasti. Aku ingat pada malam itupun aku sangat lapar tapi suasana hati pada saat itu sangat jauh dari rasa sepi. Aku menggeleng kepalaku seakan mengusir rasa sepi untuk tidak tetap bertengger disitu selama aku menyantap cumi hitam yang ada di depanku ini.

"Slamatzzzzzzzz...." tiba-tiba terdengar seseorang menyapa dari arah ujung meja. Ternyata seorang lagi teman atau dalam istilah bodohku satu lagi agen ganda telah datang untuk bergabung. Agen ganda, sebuah cap yang aku tempel ke segelintir orang yang sering datang ke kantorku yang berada di daerah Gandaria. Dia langsung duduk di kursi sebelah ku dan membongkar tas laptopnya. "Serius amat si loe pak?" dengan mulut setengah penuh aku bertanya ke si agen ganda. "Sedikit cukup serius juga sih kalo diliat situasinya pak, mau email booking konfirmasi about gig nya si Monday Michiru next month.....tapi yang penting suasananya tetep aman kan?" jawabnya sambil menusuk Wi-Fi adapter kedalam tubuh laptop Sony Vaio nya. Yang lain hanya terkekeh mendengar jawabannya, sudah biasa dengan gaya bicaranya yang sering ngga nyambung dan acakadut antara dua bahasa itu. Aku hanya bergumam "ohh....." sambil merenung. Sebutan agen ganda dengan double meaning itu membawaku ke sebuah istilah lain yang mirip, agen beras. Lamunan ku mengenai beras terhenti ketika salah satu dari teman musisi yang ada di meja itu melempar ide untuk tahun baru. "ke Lombok yuk tahun baru" katanya. "Bali bosen, Jakarta mati lah....kita ke Lombok aja rame-rame" lanjutnya. "Setuju, kita di tempat Philipe aja di Tao Kombo" kata si agen ganda sambil tetap sibuk mengirim emailnya. "Jadi kita bikin Ibiza nih di Gili Meno ?" kata si pembuat reklame. "Berangkat pak" kataku sambil menghabiskan sisa nasi di piringku yang sekarang sudah berubah menjadi hitam.

Sementara obrolan tahun baru terus berlanjut dengan rencana membuat Ibiza a la Lombok, aku menatap cheting atau tempat nasi tradisional khas Jawa terlihat sudah setengah kosong di depan ku. Kembali pikiranku melayang dan melamun mengenai beras. Aku berpikir mengenai impor beras yang sedang ramai dibicarakan. Kalau akan mengambil istilah si pembuat iklan tadi mengenai arti dan pesan dari design yang dia buat maka aku sedikit agak bingung mau memilih yang mana. Negara agraris kok masih harus meng impor beras. Sama tidak masuk akalnya dengan kondisi negara yang memiliki minyak tapi terus menerus menaikan harga BBM . Apakah keputusan untuk mengimpor beras merupakan langkah realistis, ilusionis atau pesimis? Padahal stok beras tidak kurang dan kalaupun akan menurun karena harus memberi makan rakyat miskin kenapa tidak beli saja dari petani lokal sehingga dapat membantu sektor pertanian dimana banyak rakyat miskin yang bekerja di sektor itu. Ini lebih baik daripada buang uang untuk membeli dari luar negeri yang otomatis pasti menggunakan mata uang asing. Makin miskin saja nanti negara kita. Aku membayangkan para petani beras itu pasti sedang merasakan rasa sepi yang jauh lebih dalam dengan adanya distorsi pasar seperti ini. Mungkin juga rasa getir dan pahit atas ketidak adilan yang mereka rasakan dari tidak adanya keberpihakan pemerintah disisi mereka.

Lamunan ku melayang kembali ke teras dengan banyak tanaman hijau itu dan teringat dengan plakat yang di tempel di satu sisi dinding luar dirumah itu. Sebuah penghargaan untuk jasa atas rasa nasionalisme yang tinggi dari salah satu pemilik rumah yang telah almarhum. Pasti beliau pun merasakan getir dan pahit yang sama saat ini kalau masih hidup. "Ya yang waras ngalah lah" kembali terngiang di telingaku. Siapa yang waras dan siapa yang harus mengalah dalam situasi dan suasana yang tidak aman ini? Mudah -mudahan tahun baru yang akan datang ini akan membawa rasa optimis yang realistis dan bukan pesimis atau ilusionis dari hal-hal yang tidak masuk akal.

Elang dan Anjing


Crackkkkkkkkkkkk !!
"Black hawk down"
"We get a black hawk down" ringer telepon seluler ku berteriak meniru salah satu adegan dari filem dengan judul yang sama. Aku lihat sang caller ID, pffff....ga penting. Just let it ring lah. Aku teruskan pekerjaan ku di depan komputer membuat design layout untuk website sebuah event yang akan di selenggarakan beberapa bulan lagi.

Deg deg deg... Dag dag dag...Berdebar jantungku begitu melihat ikon kuning muncul di sebelah kanan bawah layar monitor ku untuk kemudian hilang kembali ke balik taskbar. Sebuah ikon kecil yang menandakan kehadiran satu sosok virtual. Gokil, 5 tahun dan setiap kali ikon itu muncul masih berdebar seperti ini. Dahsyat !.

Deg deg deg...Dag dag dag...Dog...dog......I'm a dog. Keberadaan ikon kuning di task bar itu akhir - akhir ini telah membuat aku merasa seperti seekor anjing yang sedang berkelana mencari sebuah dog house yang nyaman di pekarangan asri dengan rumput hijau. Sebuah tempat dimana aku dapat merasa 'at home'

Crackkkkkkkkkkkk !!
"Black hawk down"
"We get a black hawk down" ringer telepon seluler ku kembali berteriak. Kulirik dan kali ini ternyata memang penting buat di angkat. "siap, pak" aku berkata kepada lawan bicaraku di seberang sana. "ya bagus dong kalo emang master, publishing dan copy right dia yang pegang. bisa open kemungkinan untuk licensing" kataku lagi. "ok bro...kabar kabari". Aku tutup telepon ku.

Hawk......I used to think I was one aku berpikir dalam hati. Seekor elang terbang tinggi di langit. Terbang bebas menembus awan dan dengan kesendirian ku memiliki sarang di tebing tinggi yang terjal. Kenapa aku tiba-tiba merasa seperti seekor anjing begini sekarang?.
Black hawk down to a dog ? The question buggin' me, dawg is.....apa di dunia virtual itu ada mahluk bernama anjing ? Karena kalau ternyata tidak ada maka tidak akan ada pula yang namanya dog house. Kalau sampai seperti itu maka halusinasi apa yang sedang aku alami saat ini mencari-cari sebuah dog house yang nyaman?

Bagaimana aku bisa berubah sosok dari seekor elang menjadi seekor anjing? Bukan soal martabat mana yang lebih tinggi diantara mereka berdua, tapi apakah aku akan menemukan dog house yang aku cari?

Bintang Jatuh

LELAKI itu melamun di teras belakang rumahnya yang berada di tebing pegunungan itu. Pandangannya ke laut tidak ia lepaskan. Deburan ombak memecah, dan bunyinya mengikis hatinya. Dalam beberapa tahun belakangan, malam-malam seperti ini dia habiskan dengan memandang ke langit luas dan menghitung bintang. Mengharapkan adanya bintang jatuh, untuk membuat suatu permintaan. Tapi tidak malam ini. Dia sudah patah semangat menunggu bintang itu.

Berkilometer panjang doanya ia sampaikan kepada Sang Maha, memohon agar diberikan kesempatan untuk mendapatkan kembali saat itu. Saat berharga yang dia buang begitu saja. Berpuluh-puluh gumpalan kertas berserakan, menemani semangatnya yang jatuh di tanah. Tidak ada kalimat-kalimat tertulis baru, sejak kejayaannya beberapa tahun yang lalu. Janjinya pada diri sendiri untuk tidak menulis lagi, sebelum dia menemukannya lagi.

"Kemana saya harus mencarimu? Apakah saya benar-benar kehilanganmu? Saya tak berdaya mengembalikanmu, kasihku"

Dia menangis tanpa bersuara. Mukanya jatuh di kedua tangannya yang telungkup. Air matanya menetes dari matanya, melalui lengannya, dan jatuh ke jurang. Bersatu dengan laut. Kesedihan dan kepiluan air mata itu terbawa arus ke laut lepas.

Tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri, sampai akhirnya tertidur. Malam semakin larut, dan bulan semakin terang. Beberapa kunang-kunang terlihat mengitari dirinya yang telah tertidur pulas. Kunang-kunang yang sama, setiap malam.

Keesokan paginya, matahari menyambut pagi. Kunang-kunang telah pergi, dan lelaki itu telah meninggalkan tempatnya. Butiran-butiran air laut menguap, membawa serta air mata kesedihan dan kepiluannya.


S
ANG lelaki sampai ke tempat tujuannya. Sebuah pohon rindang yang dihuni beratus-ratus burung beraneka-ragam. Dibukanya kantong kertasnya dan dikeluarkannya butiran-butiran gandum dan remah roti. Burung-burung itupun terbang mendekat kepadanya, menghinggapi bahu sang lelaki itu.

"Hey, apa kabar kalian semua? Kalian masih ingat sama saya ya? Sudah lama saya tidak kesini dan menemui kalian", katanya sambil tersenyum dan menaburkan isi kantongnya.

Tempat ini mengingatkannya akan kehidupannya dulu sewaktu belum menjadi seperti sekarang. Bersama seseorang yang sangat dia sayangi. Dia masih menikmati kebersamaan burung-burung dan kekosongan hatinya sewaktu butiran air matanya sampai kepada langit. Air mata kesedihan dan kepiluan terurai menjadi embun yang jatuh kembali ke bumi, membuat aura menjadi mendung. Langit tak berpendar biru, surya tak berkilat cahaya. Daun tak berhijau terang, bunga tak sesedap wangi.

Suatu saat di suatu dimensi, terlihat seorang wanita yang ditemani oleh kunang-kunang, merasakan aura itu. Hatinya yang sakit terkikis oleh kesedihan beberapa lama yang lampau, kembali terkuak. Dia merasa lelaki itu memanggilnya. Menginginkan kehadirannya. Sepandai-pandainya ia untuk menutupi emosinya, namun dia tetap mahluk yang memiliki perasaan. Kerinduan itu kembali menengadah. Kegelisahan menghapiri dirinya. Tak sanggupnya melawan kodratnya.

"Aku akan kembali", katanya.


H
ARI berganti hari, minggu berganti minggu, dan genap setahun bumi sejak tetesan air mata pilu menyentuh laut. Kembali malam itu sang lelaki masih tepekur memandang kertas putih kosong yang tertambat pada mesin ketiknya. Jangankan ingat pada janjinya untuk tidak menulis, semangatnya pun untuk hidup sudah tidak ada.

"Sang Maha, berilah saya satu bintang jatuh. Berilah kesempatan pada saya untuk membuat satu permintaan atas bintang itu".

Dia ingin menangis, namun air matanya telah kering terperas oleh kepiluan hatinya. Dia kembali memandang langit luas, menghitung bintang. Sampai pada...

Wanita itu bertekad hati untuk kembali kepadanya. Saya mencintainya, katanya mantap. Dan berangkatlah dia menemui kekasihnya.

... bintang jatuh! Lelaki itu hampir tidak dapat mempercayai matanya sendiri. Cepat! Buatlah permintaanmu!, teriak kepalanya.

"Saya minta PJ untuk datang kepadaku. Saya berjanji untuk tidak menyakiti hatinya lagi. Saya akan mencintai dirinya segenap hatiku."

Tak dinyana, sang bintang jatuh didekatnya. Sang lelaki takjub tak kuasa bergerak. Tercengung melihat bintang berubah menjadi pendaran cahaya.


"...wish upon a shooting star, and hope that your dream will come true..."


*bersambung*

Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan "Pendekar Bebek Bertattoo (#5): Perginya PJ".
Image Source: Fotosearch

suatu sore

cinta, pain?
message sent

message recieved

lagi bosen, ga ngapa-ngapain seharian, nungguin kamu kangen banget
message sent

message recieved


5 min sayangku, tadi kena macet
message sent

message recieved

gubrak gubruk gubrak gubruk

keluar lewat sana!
jangan!... sana aja!
suara langkah kaki berlari kesana-kesini panik

woy woy woy!
....celana dalem kamu ketinggalan
bisik-bisik

honk! honk!
bunyi klakson di garasi

sayaaaaaaang!
tampang panik celingak-celinguk sambil benerin rambut dan baju, sambil menyambut sang kekasih pulang

Sunday, January 22, 2006

The Re-Make of Pillow Talk

SCENE 1
(A view from a window. Wet roof in a rainy afternoon. Drops of water falling from the edge of the roof into a man-made pond below. Koi fishes swim beneath the surface. The ivy covered wall with its spreaded vines and full leaves are wet and looks so green and clean. The smell of wet grass flowing through the open window. The sounds of thunder in a distant from time to time.)

Excerpts of messages in the Inbox:
Don't be suprise if I turn to my usual self again tomorrow
The rain now makes me soft and passionate
I don't let myself open too often
I let it closed to prevent damage

Excerpts of messages in the Outbox:
Now is also tomorrow
You're warm and loving
I see your usual self now
Doing what you do best
Making the heart grows

SCENE 2
(Late Morning. Mug of hot coffee on the back terrace. A breeze of wind blows at a newly wet hair fresh from the shower. Scripts from a half done novel on the table, suspended by a several fresh water oyster shells. The sound of Nina Simone's "My Baby Just Care For Me" from a vinyl being played )

Loosely worn kimono
A peek of soft belly
Its soft fabric
Shaping the curves
And the rounded edges
Scent of lavender
On the smooth skin

SCENE 3
(Half dark air - conditioned room. The rustle of white sheet as cold bare skin seeking comfort and warm underneath. The sound of rain outside. The smell of wet earth flowing through an open bedroom window. A glimpse of Marlon Brando face in an opened cover of Last Tango in Paris DVD.)

Warm breath on a finger tip
The sound of pillows being stacked
The rain outside
Brings the smell of wetness
Lowering guarded feelings
Letting out passionate longing
For touches of pleasures
Just like the rain
Brings wet but warm feelings
On the pond outside
A fish swims underneath the surface
Its skin wet and slippery
Touching the shapes
Tickling the curves
Tingling rounded edges
Exploring inner parts
And like an oyster shell pried open
The round beautiful pearl exposed
Its surface wet and slippery
It is felt and tasted
The taste lingered
On lips and tongue
The smell mixed with lavender scent
The flesh of a loving lover
Reaching final destination
In the center of her universe

Inspired by 36 Views, A Play by Naomi Iizuka as well as by many wet rainy days.
Image taken from the book cover design.

Saturday, January 21, 2006

Men are Dawgz's Best Friend

Amazing....
Image taken by Whiskey Lima

A Bench And A Three Stripes Shoes

“Hi” …
“Allo” she said, with a French accent.
“Mind if I sit here?”
“No, go ahead” she said blowing her smoke.
We were both in a smoking section of an airport waiting for our flights. I noticed her shoes, nice Adidas. A pair of simple black shoes with three white stripes which she worn over ankle socks.

“Where are you flying to?” I tried to make small conversation as I lighted my cigarette.
“Back home to France” she said. “And you?”
“Kuala Lumpur” I said.
“Ah, we should be on the same flight, my flight stop over in Kuala Lumpur” she continued.
“Nice shoes, where did you get it?”
“In France” she replied shortly.
“Cool shoes, what series is that?” I continued asking her about the shoes.
“I really don’t know” she replied kind of apologetically.
“They look really nice, I like them” I said.
“Merci” she said with a smile.

It’s a simple conversation taken place while sharing a smoke on a bench waiting for a late night international flight. Neither one of us is likely to feel any kind of intimacy from that kind of an experience. It was an exchange between a genuine interest over a pair of sporty Adidas and a return of information which was not really helpful but at least was honest answers.

But what if the swing of event were different? What if faith has it that I was also flying to France instead of just getting off in Kuala Lumpur? The sharing of a bench could extend into a sharing of a long flight.

“So, what will you be doing in France?” she asked.
“Working, I come to see some shots of food ingredients for a TV commercial” said I.
“Hmm, that sounds like an interesting commercial. You work in advertising? She asked again.
“You look good in those shoes” I complemented her as I nodded my head to answer her last question.
“Me too, I work in a marketing field also, but mostly digital. I design web….. you really like these shoes?” she said as she lifted both her legs a little. I nodded my head again. She smiled and said "yes, they are actually my fave shoes too"
“Yes, its so you. So? I mean you work in digital marketing? I used to be involved in that too” I told her.
“What’s so me… my work?” she asked.
“No, the shoes” I said.
She laughed and said ”and just how would you know that, Mr. Ad Man?”.
I laughed too and shrugged my shoulders. “I have no idea why I said that. Just a silly hunch, I get them sometimes”. I said as I rose from the bench.
“We still have a long wait for our flight” I looked at my watch.
“Yes, it will still be for awhile, are you going in?” she asked me.
“No, I want to get some coffee, you want one?” I said.
“I would love some” she said.“Black?” I asked again.
“That’s another good hunch, yes. Thank you” she said.
“Be right back, then”. I walked towards a standing bar that still open along side a row of closed Duty Free Shops.

The cigarette has long gone but the conversation lingers on. This could be just another simple conversation over a mutual admiration over a pair of shoes between two people who happens to be involved in similar works. That and the coffee that would follow could create an innocent intimacy or at least comfort over the dreading wait for the two late night travelers.

“Here’s your coffee” I handed her a closely lid cup of coffee.
“and by the way, I’m Shai…Shai Bastara” I introduce myself.
“Merci, I’m Patna Jane” she said as she took the coffee and shakes my hand.
“Cool initial…PJ. Can I call you PJ?” I said grinning.
“PJ it is…and you’re Shai, right?” she grins back at me.
“Sometimes in some situation but right now I’m not shy with you” I winked as I sip my coffee. She laughed at the slipped of the tongue to my name.
“your coffee okay PJ?”
“you know what Shai, these shoes would look nice on you too….yes the coffee is fine. Funny, I am thinking a nice cold beer would also be good now”“I think they come in men’s sizes too, don’t they?
"cold beer definitely is good idea. We should've bought that instead of coffee” I said.
“maybe we’ll have one on board later?” she said.
“where are you sitting PJ?”
“should be around the second or third row…..I always like to seat as close to the front as I can” she explained.
“I’m around there too I think”. I remembered I asked for a front seat too when checking in tonight. I started to look at my boarding pass and the little sticker that says 7 C. An aisle seat.
“I think I’m going to get one too” I said as I showed her my boarding pass.
“what Shai? the beer?” she looks at my boarding pass and waves hers that has 6 D on it.
“ no PJ, the shoes…I have this funny feeling that I’m going to get one too”.
“yes get one, that way we’ll then have something in common” she said.
“that would be nice, wouldn’t it? I mumbled to myself not really knowing what I’m saying.

The boarding announcement came over the speakers. “That’s us Shai…let’s go”. We walked towards the gate with me helping her carry one of her bags. We stand on line with the other passengers entering the cabin. Our seat turns out to be one row apart on opposite side of the plane. It wasn’t a very full plane as we both have no one sitting next to us.

“hey you ” I came over to her seat after the seatbelt sign is off.
“hey you too” she look up from her seat.
“can I sit here with you?”
“yes I would love the company” she said.
” it’s going to be a long journey, isn’t it?” she said again as I sit next to her.
“Pfffff, very long PJ….maybe it would feel shorter if we both share some cold beers”
“yes let’s ask for some, Shai”

The pretty dyed blonde stewardess with dark sharp eyes typical of women from the Arabic Peninsula brought us two cold Heinekens.

“here’s to PJ and her nice Adidas” I toast to her.
“here’s to sharing our long journey together, Shai. And a safe flight”
”yes a safe flight PJ”“nothing can be predictable but yes Shai, a safe flight where everyone including you will arrive safely at your destination “
“you have a good heart PJ”
"Cheers" We both said it at the same time.

We talked about work and discussed some of the movies featured during the flight. Dinner was served and we had some more Heinekens afterwards. The cabin light is turned low and most of the passengers are asleep. I am reading my book while PJ is busy doing some sketches for a web layout.

“you want a blanket PJ?”
“yes, it’s getting a bit chilly”
“Yes I know. Here’s your blanket”
“I’m going to get some sleep Shai. You?”
“Maybe read a few more pages. Go ahead, I catch up later”
“Okay, be here when I wake up?” she grinned at me
“Yup, with another cold beer for you” I grinned back at her.
“ mmm….you have a good heart, Shai. See you later”

The plane is high above the Atlantic flying through dark night. It is a long journey to Paris with a stop over in Kuala Lumpur and Dubai. Sharing a journey could add more burdens with the excess luggage of your companion or for having to attend some silly needs for blanket or additional cold beers. Probably even an unintentionally slip of tongue on some wrong hunches which might cause minor irritation.

But the comfort of it all and the sharing of common interest between traveling partner beat the hell out of all that burdens. Especially if we are taking a long journey of life with its unknown destination. All we have is the sharing of something in common and faith in our traveling partner.

An open heart is a good heart…….it dances and travels.

Image taken by Yoodi

The T Word

AC di mobil terasa dingin sekali. Keinginan itu muncul lagi. Menggebu-gebu. Tiga hari lamanya aku mencoba keras untuk melupakannya. Tapi hawa dingin dan cuaca yang mendung, sangat mendukung.

"Sayang, cakung"
"Kamu pengen ya? Iya, cuaca mendukung sekali"
"Perjalanan masih lama ya? Duh, macet segala. Kalau di sini aja gimana ya, Baby?"
"Hus, kalau dilihat orang lain kan malu. Masih terang sayang. Kalau malem aja ga papa"
Dia mengedipkan matanya padaku.
"Ah, kamu", jawabku sambil mencubit sayang lengannya.

Dorongan itu sangat kuat. Membuatku terengah-engah.
Kekasihku mengetahui keadaanku dan hanya mengelus-elus punggung tanganku dengan sayang. "Sabar baby, bentar lagi nyampe rumah. Kamu bisa lepaskan semua. Puasin semuanya, ya?"
Aku mengangguk. Gerbang rumah mulai terlihat.
Duh, satu menit seperti satu hari.
"Ayo buruan sayaaaang", nafasku semakin memburu.

Kulepaskan semuanya.
Aku puas.
"Makanya, tokai jangan dipiara"
"Sial loe", jawabku sambil ngeloyor ke dapur.

Image taken and edited by Tolelojing

Mutiara Hitam

(Terdengar bunyi motor meraung dari bengkel sebelah. Berisik sekali. Laptop ku terbuka diatas meja panjang di ruang kerjanya. Beberapa proof print pernak pernik perhiasan yang terbuat dari mutiara tergeletak di meja itu. Wajahnya kelihatan tegang seperti biasa setiap akan mengikuti pameran perhiasan international. “Kok ga ada yang bagus sih gambarnya buat di print di catalog” katanya uring-urningan. Aku hanya tersenyum. Sudah biasa melihat dia berubah jadi “miss panicky” dan mendengar ocehan nya yang kadang tidak masuk akal. Poto –poto perhiasan yang akan dicetak di catalog sudah sesuai dengan apa yang kita berdua inginkan. Seorang fotografer langganan kita dengan spesialisasi high fashion jewelry sudah memberikan hasil still shots yang maksimal seperti biasanya. Kadang aku heran bagaimana seorang yang gampang panic seperti ini dapat menjadi dive master yang sering melakukan riset bawah laut bahkan sampai ke perairan Karibia dan yang selalu teliti memeriksa setiap kerang yang ada di peternakan bawah laut itu untuk memastikan hasil panen yang bagus.“Liat ini deh” aku coba mengalihkan perhatiannya ke layar monitor laptopku dimana ada gambar design rosario terbuat dari mutiara hitam pesanan sebuah outlet langganan kami dari Eropa. “Hmmm….bagus banget. Simple tapi sangat spiritual”. jawabnya. “Aku selalu suka design - design kamu” sambungnya lagi. Aku hanya tersenyum. Sudah biasa dengan pujiannya atas design perhiasan yang aku buat untuk perusahaan kami berdua itu. “Jadi kapan proof print ini bisa naik cetak, waktunya udah dikit lagi gitu lho” katanya lagi dengan kepanikannya yang tidak beralasan. “Sante aja gitu lho, it’s all been taking care of” kata ku menenangkan dia. "What about the insurance for the shipment?" tanyanya lagi. "Done" jawabku pendek. “God, why do I always feel like a lost little girl every time before an exhibition?” katanya mengeluh. “Udah tenang lah, this is not our first time. Berdoa aja” kataku sambil menghirup kopi panas yang baru saja dia buatkan untuk ku. “I love that rosario” katanya lagi. “ Makasih” kataku sambil kembali mengingat dari mana sebetulnya ide design itu kudapatkan. “Stress banget aku, I need a hug” katanya tiba-tiba sambil menatapku. Aku berdiri menghampiri mejanya dan kupeluk dia dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Dia masih dalam pelukanku ketika suara motor meraung perlahan berganti menjadi …… )

Bunyi lonceng gereja di salah satu sudut Kota Tua (Old City) di Yerusalem. Suara lonceng itu mengiringi langkah seorang pendeta muda dengan jubah hitam panjang yang berjalan cepat kearah Via Dolorosa. Sebuah jalan bersejarah dimana Yesus berjalan beberapa belas abad yang lalu sambil memanggul salib. Raut mukanya kelihatan gelisah meskipun langkah nya tetap tenang dan seakan kakinya sudah sangat mengenal tempat yang akan dituju. Melewati sebuah shouq atau pasar yang di dominasi pedagang Arab dia mendengar suara adzan bergema dari salah satu menara mesjid bersejarah di Kota Tua tersebut memanggil umat Islam untuk melakukan sholat di penghujung senja hari itu . Suasana hatinya tidak menentu persis seperti suasana kota Yerusalem pada saat itu di akhir abad 19. Kejayaan kerajaan Ottoman Turki mulai memudar seiring dengan masuknya pengaruh imperialisme Inggris di belahan Timur Tengah. Siapa dia ? dia kembali bertanya dalam hati. Mimpinya semalam terasa terlalu nyata untuk di diamkan apalagi setelah terjadi dalam dua malam berturut-turut. Langkahnya sedikit melambat sewaktu sekelompok pelajar Yahudi keluar dari sebuah sekolah kitab Taurat. Dia tersenyum dan mensyukuri solidaritas beragama antar umat di kota dimana tiga agama tua dunia berpusat. "Aku akan menunggu mu di sebuah kedai kopi di bagian selatan Kota Tua, dekat Tembok Menangis" demikian pesan yang di ingatnya dari mimpi semalam.

Dia kenal dengan pemilik kedai kopi itu, seorang Yunani dan jemaat gereja Yunani Ortodok yang pernah berkunjung ke gereja nya beberapa tahun yang lalu untuk membantunya memasang patung Madonna di altar gerejanya. Hari mulai gelap sewaktu dia sampai di kedai kopi itu. "Shalom" sapa si pemilik kedai dalam bahasa Ibrani sambil menjabat tangan nya. "Shalom, leila tov" sapa nya kembali sambil mengucapkan selamat malam. "Qahwa?" tanya si pemilik kedai menawarkan minuman kopi. "Iya, terima kasih" jawab si pendeta muda sambil matanya memeriksa setiap sudut ruang kedai.

Tatapan matanya terhenti pada sebuah meja disudut yang paling dalam dari ruang kedai itu. Seorang wanita duduk seakan tidak terlihat oleh pengunjung lain meskipun dia memakai kostum baju yang seakan berasal dari jaman yang jauh lebih maju. Setelah menerima segelas qahwa dari pemilik kedai dia menghampiri meja itu dan duduk di hadapan wanita tersebut. Penampilannya yang menunjukkan bahwa dia bukan berasal dari jaman itu dan baju kaos dengan tulisan New York Yankees seolah tenggelam dari perhatian orang hanya dengan sebuah selendang yang menutup rambut dan bagian samping dari wajah wanita itu layaknya kebiasaan berdandan wanita Muslim di kota itu.

Dia seakan memiliki keahlisan untuk tidak dapat terlihat oleh pengunjung lain di ruangan itu. Wanita itu tersenyum dan berkata "shalom, akhirnya kita bertemu lagi. kamu masih kelihatan sama...". "Anda siapa?....sepertinya telah mengenal ku" pendeta muda itu bertanya dengan sopan sambil menghirup kopi panasnya. Kembali wanita itu tersenyum, sebuah senyum yang sangat ramah dan tulus yang membuat si pendeta merasa pernah mengenalnya. "Shalom, artinya damai kan? aku suka kata itu" katanya. "Aku juga senang kamu masih suka memegang itu" tambahnya lagi sambil menunjuk rosario yang terbuat dari mutiara hitam yang terlilit di tangan kiri pendeta muda. " ..dan masih tetap di tangan kiri, padahal tangan kananmu sudah tidak perlu lagi memegang pedang untuk menghadang serangan musuh -musuhmu" lanjutnya sambil tetap tersenyum. Si pendeta muda tertegun mendengar wanita itu berbicara mengenai rosario nya. Sebuah rosario yang telah dia milik seumur hidupnya dan merupakan warisan yang dia sendiripun tidak yakin atas asal usulnya. "Apa yang anda ketahui mengenai rosario ini?" tanya si pendeta. "Kamu pernah menitipkannya sebentar kepada ku" kata wanita itu "...sewaktu aku membantu mengobati lukamu dari panah yang menembus baju perangmu dalam sebuah pertempuran".

Mendengar kata panah tiba-tiba ingatan pendeta muda itu seakan meloncat ke tempat yang jauh di seberang lautan dan ke sebuah waktu yang jauh kebelakang. Sekilas terlihat gambar medan perang dengan latar belakang sebuah benteng kastil di benaknya dan seorang ksatria berambut panjang tergerai menyentuh baju jazirah yang berat dengan pedang terhunus di tangan kanan dan rosario di tangan kiri. Mungkinkan orang itu aku? dia bertanya dalam hati."Aku butuh bantuan mu sekarang" kata wanita itu sambil dengan lembut mengambil rosario dari tangan si pendeta muda dan melilitkannya ditangan. ”Bantuan seperti apa?” kata si pendeta muda. “Aku ingin bisa seperti mutiara - mutiara hitam ini” katanya lagi. “Apa maksudmu?” tanya si pendeta muda. ”Tolong bantu aku keluar dari rumah kerangku sehingga aku dapat menyebar kebahagian kepada orang lain dan juga diriku sendiri” kata wanita itu.

Terlihat sedikit kesedihan di matanya ketika dia berkata begitu meskipun bibirnya tetap tersenyum ramah. ”Aku bisa membantu mu dengan berdoa untuk mensyukuri apa yang kamu miliki dan untuk dapat mendengar suara hatimu. Dengarkan suara hatimu untuk mencari kedamaian dalam dirimu sendiri sebelum kamu menyebar kebahagian kepada orang lain ” kata si pendeta muda. ”Mungkin kamu tidak merasa, tapi aku melihat mu berdoa bersama seorang anak perempuan kecil dua hari yang lalu” kata wanita itu. Si pendeta muda kelihatan tidak terlalu terkejut dengan pernyataan wanita misterius itu. Dia dapat merasakan bahwa mereka telah saling bertemu dalam sebuah kehidupan yang lain dan sejak itu wanita ini telah beberapa kali hadir di dekatnya tanpa dia sadari.”

Anak perempuan itu merasa kehilangan karena dia merasa tidak ada yang menuntunnya” si pendeta muda menjelaskan kesedihan yang dirasakan oleh seorang gadis kecil yang dia temui sedang menangis di tangga sebuah rumah musim panas yang terletak di luar tembok Kota Tua sekitar dua hari yang lalu. ”Maukah kamu membantuku berdoa seperti itu” tanya wanita itu. “Berdoa denganku seperti yang kamu lakukan dengan gadis kecil itu” pintanya lagi memohon. ”Pasti aku akan membantumu” kata si pendeta muda sambil tersenyum. ”Terima kasih, dan bila aku sedang jauh darimu, peluk aku dengan doamu, ya?” kata wanita itu sambil kembali tersenyum. Kesedihan yang sempat mampir di matanya tadi kini sudah tidak terlihat lagi dan sudah berganti dengan sorot kelegaan. ”Kamu akan pergi lagi?" kata si pendeta muda. ”Iya, aku tidak bisa lama disini, tapi aku pasti kembali menemuimu lagi" wanita itu berjanji sambil tersenyum. ”Kalau begitu aku titipkan lagi rosario ditangan mu itu sampai kita bertemu kembali" kata si pendeta muda.

Kali ini mereka berdua tersenyum bersama.

Baca juga "Kota Tua Yerusalem" di sambilngupi! Kedua tulisan ini dibuat oleh dua orang dengan sudut pandang yang berbeda.

Image reference: The Black Pearl Inc (Jewelry Catalogue)

Day 1

diulurkannya barang itu kepadaku

aku: "... gimana taunya kalo nyampe?"

dia: "ojok dipikirno"

diulurkannya lagi

aku: "rung tekan ki"

dia: hihi haha hihi

aku: "opo sih... kok ga kroso..."

di otakku mencoba untuk menganalisa bagaimana rasanya proses ke arah sana

aku: "opo sih? opo sing kudune dirasakke?"

dia: "wis to mbak.. ojo dipikirno"

aku: "sik.. aku kih sedang mencoba melihat samapi mana aku bisa merasakan... hey... iya iya..."

hihi haha hihi

kita berdua tertawa

haha hihi haha

Image taken by Dian Nurfarida from DDB Beyond. Edited by Tolelojing

Day 2

diulurkannya lagi barang itu kepadaku
dia: "enakan nek ra dipikir to mbak"
aku: "iyo... salahku kakehan mikir"
dia: "barange wis entek, garek iki karo sesuk wae" diulurkannya kembali buatku
aku: *menghisap dalam* "aku rodo ngelak el, aku njaluk ombe yo?"
dia: "tak jupukno po... koka kola adem"

coca cola dingin? nanti perutku jadi semakin gendut! aku berusaha mati-matian mengecilkan perutku ini dari timbunan lemak yang berhasil kukumpulkan selama hanya dalam sebulan saja. eh, gimana ya kalo gambar itu direvisi kembali?

aku: "gambare engko wae yo!"

dia terkesima, lalu:

haha hihi haha

aku terperanjat, lalu:

haha hihi haha...

"ternyata aku ngomonge nang sirahku dewe yo?"

kita terdiam sambil menyelesaikan tawa

dia: "yo ho oh"

aku menolehkan mukaku padanya, lalu:

"kowe ga bar ngomong opo-opo el"

haha hihi haha

dia: "sangar yohaha hihi haha

aku: "tulung el... aku ga iso mandeg ngguyu"

haha hihi haha

Image taken and edited by Tolelojing

Day 3

(kembali) dia mengulurkan barang itu kepadaku

dia: "iki film-e sangar... school of rock"

kita berdua haha hihi haha

aku: "nek ora ngene ga iso ngguyu mesthi nonton-e"

haha hihi haha

dia: "iki ono eskrim karo ruti... serbu yo"

aku: "beres dab"

dia menyendokkan beberapa eskrim ke roti tawarnya, diteruskan olehku sambil meneruskan menonton film itu

haha hihi haha

haha hihi haha

aku: "kok es krim-e tok entekno? urik banget! kapan sih, kok aku ga ngerti?"

dia: "wah, kowe kih.. kowe sing ngentekno"

aku: haha hihi haha "ha? kapan?" *tampang cengok bingung beneran

dia menerangkan kepadaku dari awal, siapa yang mengambil kemudian siapa, dan dia berkata bahwa aku yang mengambil sendokan terakhir, ruti ke-tiga.

aku mengikuti penjelasannya seperti seorang turis yang mengikuti petunjuk jalan seorang lokal pada peta yang kubawa. penjelasan yang cukup jelas - mustinya - tapi aku tak kunjung mengerti

dia: "pethuk"

haha hihi haha

aku: "yo mbok wis ben... ruti ne entek njuk ngopo"

dia: "nggak nyambung mbak"

haha hihi haha

e m o t i o n s

mmm...
aaahh...
mmm....

perempuan itu membuka matanya.
dilayangkan pandangannya ke langit-langit kamarnya yang dingin.
"sayang, kamu di mana?"
"di sini, sayang", suara dari seberang sana terdengar.
perempuan itu kemudian merasakan sesuatu didadanya.

[ gue dulu! gue dulu!, sahut sedih berlari-lari dengan sangat kencang.
no waaayy jooseeee....! sekarang ini waktu gue untuk keluar!, jawab marah.
ayuk dong ah, ajak senang menggamit lengan iri.
haha! kalian berdua ngapain ngesot di lantai? kaya gue dong, lari kenceng..., ledek dengki pada senang yang sedang membantu iri yang jatuh terpeleset kulit pisang.
kalian ga bisa ngalahin gue! udah deeeehhh... kali ini gue yang mesti menang!, teriak sedih sambil melihat ke belakang ]

si perempuan memegang dadanya yang telanjang, tangan satunya memegang gagang telepon yang masih nempel di telinganya.

"sayang (isak) kamu di mana?"
"sayang, kamu nangis? jangan ya? saya di sini", jawab suara di seberang.
"saya buka mata saya, dan kamu tidak ada di dekat saya.
saya kesepian (isak)"

[ tuuu kan! apa juga gue bilang! gue yang menang, gue dulu yang keluar!, sombong sedih.
ga adil! loe ama seneng menang berkali-kali akhir-akhir ini, gue ga loe kasih kesempatan! ga adil! jawab marah.
ah sudahlah marah, loe tuh dah berkali-kali menang dalam beberapa taun ini, kasih aja mereka kesempatan buat menang, napa si loe? celetuk iri ]

"jangan sayang, aku ada di sini buat kamu", jawab suara di seberang.
kipas angin yang menempel di dinding menyentorkan anginnya ke badan si perempuan.
diambilnya selimut, ditariknya menutupi sebagian dadanya yang telanjang dan katanya,
"i'm sorry, mood swing lagi. bingung mengontrol emosi saya jika sedang terbuka seperti ini (isak)"
"aku cintakan kamu, sayang"
(isak)
"saya kesepian"

Image taken by Tolelojing

Tikar, Payung, dan Sebotol Air Mineral

Bunyi erangan laki-laki itu sangat mengganggu telinganya. Bau busuk sungai dihadapannya bercampur dengan bau keringat dan aroma mulut seonggok manusia bejat yang sedari tadi menindihnya. Mual perutnya. Nyamuk-nyamuk menyerang paha perempuan setengah baya itu, gigitan semut rangrang membuat gatal kaki dan tangannya. Lelaki itu berdiri sebentar, dan langsung melepas celana panjang lusuhnya. Dia kemudian buru-buru menindih tubuh mungilnya. Kasar sekali, pikirnya. Demi anakku. Dirasakannya bagian tubuh lelaki itu yang sudah sangat keras menyerang bagian tubuhnya. Tidak ada yang prifat lagi. Sesaat rasa sakit dibagiannya berpindah ke bagian belakangnya yang menggesek kulitnya. tikar tipis yang dibawahnya ada beberapa batu kecil. Sial, pikirnya, tidak bersih benar aku menghilangkan batu-batu ini. Dipejamkan matanya. digigit sedikit bibir bawahnya. Dibiarkan laki-laki menggerilya dan menghujani badannya di sana. Sakit. Bagian sana dan hatinya. Diliriknya botol air mineralnya yang diletakkan tidak jauh darinya dikegelapan malam itu. Demi anakku, kuatnya pada dirinya sendiri.

Beberapa menit berlalu, sepertinya berjam-jam rasanya. Sang onggokan daging bejat sudah puas nampaknya. Dia berdiri dan membenahi celananya. Diambilnya dompet, dan dilemparkannya uang tigapuluh ribuan ke dada si perempuan yang masih terlentang dengan rok yang terangkat. Si perempuan lega - karena usai sesi ini, dan karena dia mendapat ekstra lima ribu rupiah. Sang lelaki pergi sambil menyulut rokok cengkehnya. Baunya menghilang mengikuti hilangnya bayangan sang lelaki.

Sang wanita membenahi bajunya, menggulung tikar tipisnya yang sudah bolong sana-sini dan melipatnya ke dalam tas besarnya, mengambil payung dan botol air mineralnya. Diterabasnya gelapnya malam dengan ribuan nyamuknya, dan pergi ke pangkalannya lagi. Di Halte Bis Kotabaru.

*Diilhami oleh sang 'legenda' Kota Yogyakarta, Yu Darmi.

Image taken by Endang Widiati, Edited by Tolelojing
Catatan: tulisan ini tidak ada hubungannya dengan impor beras.

Strike A Pose

Ayahnya meninggal setahun yang lalu, ibunya terbaring lunglai di rumah sakit seminggu ini. Adik-adiknya kelaparan. Dia harus bekerja!

Siang itu, dengan backdrop abu-abu, lampu terang menyilaukan mata, fan besar, dua buah G Force dan empat buah kamera Nikon dan Canon, berpuluh-puluh orang, bergelas-gelas kopi, dan sebuah kemauan keras.

Angkat lagi tangannya!
Pose... Tahan!
cekrik

Tahaaaan... tahaaaannn! Bagus! Senyum!
cekrik cekrik cekrik

Take five semua! Daniella, sini bentar... Matikan lampunya dulu!

Kuletakkan Canon 350D-ku. Daniella mendekat. Model yang lain berpencar.

Ada masalah apa? Senyum lepas susah, mata berekspresi susah, apa susahnya nge-pose sih?

Daniella terlihat frustasi. Dia model baru agency triple-one. Ini kali pertamaku bertemu dengannya. Kutampik masukan Jordy untuk memanggilkan si Rocky - Manager Model agency ini. Aku menggeleng.

Senyum kamu hambar, mata kamu kurang tajam. Kamu ga dikasih tahu kalau kita sedang shoot buat iklan ini? Ekspresi neng! Its a parfume ad... yang ga pake kata-kata terlalu banyak, jadi kita dituntut untuk memberikan ekspresi yang pas. Inget kan briefingnya? Ring a bell? Aku hampir melompat karena kesal. Empat jam sudah belum mendapatkan satu gambar pun yang bagus, karena Daniella.

Kutarik tangan Daneilla yang lunglai ke sofa merah diujung ruangan gelap dekat meja rias berlampu bulat-bulat dan cantolan kostum pemotretan. "The Judgment Sofa", istilah anak-anak. Kusulut rokok, kuhisapnya, dan kulipat tanganku di dada. So tell me. Whats wrong? Tanyaku padanya disela-sela lagu "You are The Universe"-nya BNH yang terdengar menyentak. Aku menoleh pada Jordy, asistenku, kecilin musiknya!

Daniella terdiam, dan tiba-tiba matanya mulai basah. Dia teringat akan ibu dan adik-adiknya.

Eits! Aku mendadak bingung, boleh ga nih anak nangis sekarang.

Stop sayang, tahan, jangan nangis. It'll ruin your make up.

Aku menyentuh sikunya dengan lembut. Tarik nafas panjang.

Dia menceritakan kesusahannya soal keluarganya.

Sudah berapa kali kamu ikut pemotretan?

Ini yang pertama kali, mbak...

This is not good, pikirku lagi.

Apa yang membuatmu menjadi model at the firts place?

Daniella tertegun melihatku, dan menjawab, tambahan penghasilan, mbak. Wah, dia tak boleh menangis sekarang. Dadaku perih melihat air matanya jatuh.

Daniella, sayang. Saya tahu ini semua berat buat kamu sekeluarga, tapi, ingat kalau ini pekerjaan pertama kamu. Pernah dengar kata-kata professional nggak? Kamu sudah masuk ke dunia itu sekarang. Modal kamu kuat, but you have to fight as well. No work, no money. So collect yourself and move your ass, sambil kukedipkan satu mataku ke Daniella. Saya tidak mau pemotretan ini menjadi jelek hanya karena kamu tidak menunjukkan hasil yang baik. Coba pikirkan, hasil ini jelek, agency-nya jelek, saya yang jelek. Dan saya tidak pernah memberikan hasil yang jelek. So... pikirkan sendiri.

Daniella tersenyum ketika mendengarku mengatakan 'ass', dan berkata, benar juga. Aku harus berjuang.

Mau tak mau aku harus tegas walaupun hatiku merasa teriris-iris mendengarkan ceritanya. Melihat air matanya meleleh.

Be somebody else in this room, honey. You are a model, for crying out loud! And what they suppose to do now, is being somebody else. Jadi, jangan takut menjadi sesuatu yang bukan dirimu untuk satu kali saja, demi kebaikan banyak orang. OK?

Daniella nampaknya mengerti apa yang kumaksud. Dia melihatku dan mengangguk mantap.

Make up! Betulkan Daniella. Rehat habis! Ayo semua ke posisi!

Aku berteriak-teriak mengkomando semua untuk memulai pekerjaan lagi. Aku tak tahu, apakah aku tepat meletakkan emosiku kali ini. Aku harus menjadi orang lain pada saat ini. Demi kebaikan semua orang. Juga.

Kuambil posisiku kembali ke tempat pemotretan yang terang benderang, meninggalkan sudut sofa yang gelap itu.

*terinspirasi Lagu Vogue oleh Madonna dan karakter T'Pol dalam Star Trek: Enterprise

Image taken by Whiskey Lima

Kota Tua Yerusalem

Beruntung aku membawa pashmina hitam buluk kali ini. Kututup rambut merahku, dan menyelempangkan ujung pendeknya dipundakku. Beruntung cukup panjang pashmina ini sehingga bisa menutup kaos merah membara bertuliskan New York Yankees dengan baik. Beruntung lagi aku menggunakan slack hitam, dan bukan rok jeans mini yang kusilet-silet ujungnya. Kulirik meja sebelahku, yang duduk seorang tua berjanggut putih dengan panjang kira-kira tigapuluh sentimeter, menggunakan baju serba hitam dan topi panjang warna senada, yang mengobrol dengan seorang lelaki muda berkacamata bulat dengan potongan rambut yang aneh seperti batok mini di balik. Ditangannya masing-masing memegang mug keramik yang oversized bercatkan warna terakota. Teringatkanku akan mug beling babah cong berisi air putih yang menemaniku sepanjang hari depan komputerku. Kuperhatikan pakaian si tua yang terlihat di bawah mejanya, aneh sekali, celananya cingkrang, terlihat dari panjangnya kaos kaki putihnya yang kriting seakan takuna (tak kuat nanjak) yang nampak, kontras dengan warna celana, sepatu, dan lantainya yang serba gelap. Aku tersenyum geli sambil menunduk. Gemerincing terdengar, kulihat seorang wanita separuh baya menggunakan pakaian serba panjang berwarna-warni melintas di depanku. Hmm.. cantik. Didahinya bergelantung hiasan yang berwarna keemasan. Kedua tangannya penuh dengan asesori, tak ketinggalan telinganya dan lehernya. Kontras juga dengan si tua. Seperti sebuah foto hitam putih yang ditempel foto full color yang sering kulakukan sehari-hari. Pemandangan indah. Persis seperti kota ini, gunung yang kelabu, langit yang biru terang, hamparan rumput yang hijau, beserta dengan arsiteknya yang cenderung gelap namun terbuka.

Hari ini aku sudah menunggunya selama empat jam. Hari mulai sore, dan ruangan kedai itu mulai gelap. Tempat paling ujung kupilih - seperti biasa - agar bisa terlewat dari atensi orang. Kebiasaanku tidak menggunakan make up sangat membantu. Kupandang sekeliling ruangan, berusaha sebaik mungkin agar tidak melakukan kontak mata dengan penduduk sekitar. Tidak yakin aku yang mana pemuda itu, dan biarlah feelingku yang menemukannya. Kuingat sebelum berangkat aku mengirimkan pesan kepada pemuda itu,
Aku akan menunggumu di sebuah kedai kopi di bagian selatan Kota Tua, dekat Tembok Menangis
Mudah-mudahan dia mengerti. Lamat-lamat kudengar suara-suara menyelimutiku, seperti bahasa yang sering kudengar di gereja atau film horror yang melibatkan mengusiran roh, dan bahasa seperti adzan dan film-film arab yang kutonton sekali waktu.

Aku harus bertemu dengannya lagi! Walaupun aku mencarinya sampai keseluruh jagad raya! Kuingat pertemuan dengannya yang terakhir. Beberapa pertanyaan lanjutan belum sempat aku dapatkan jawabannya darinya sejak sore itu. Jazirahku yang karatan. Aku ingin melepaskan kepenatanku menanggung harga diri, kebanggan, nama baik, dan gengsiku sendiri. Kulihat sekelilingku sekarang. Semua orang berjalan dengan apa adanya. Begitu wajar, begitu natural. Kuharus minta bantuannya. Suatu tanda apapun darinya untuk membantu melepaskanku dari kegundahan diri sendiri.

Kulihat tikus-tikus berlarian di lantai, bagaikan menari di lantai batu ini. Aku harus tahan kegelian ini. Aku harus sabar. Kujingkatkan jari-jari kakiku dengan hati-hati sekali seiringan dengan lewatnya tikus di antara kakiku. Jadi seperti ini abad sembilanbelas. Dari jendelanya yang sebesar pintu apartemenku, aku bisa langsung membaui udaranya yang manis, dan rumputnya yang renyah. Beda dengan bau udara apartemenku yang banyak kupakai wewangian artifisial di pendingin ruangan.

Sudah kuhabiskan 2 mug besar Qahwa. Rasa kopinya yang rada-rada asin dan gurih, sangat berbeda dengan kopi yang kubuat dari coffee maker setiap pagi. Namun apa boleh buat, karena minuman lain sangat tidak jelas dalam kamusku. Bibir gatal dan lidah asam merasakan tendangan keinginan mendapatkan asupan asap nikotin. Harus berapa lama lagi? Waktuku kali ini tidak banyak. Kulirik jam tanganku dengan hati-hati. Jam tangan berstrap logam tidak mungkin berkilat di tempat gelap ini, hanya jarumnya yang perlu diwaspadai karena berpendar menyisakan cahaya matahari yang terserap sejak tadi pagi. Tigapuluh menit lagi, pikirku. Aku harus bertemu dengannya!

Tak lama kemudian, kulihat seorang pendeta memasuki kedai ini. Kutangkap wajahnya sewaktu dia menoleh kearahku. Seorang pemuda berwajah sangat bersih dan suci. Aku yakin bahwa dia adalah yang kutunggu. Deg-deg jantungku berdenyut, dan hampir mungkin meloncat keluar melalui kerongkorangan jika tidak segera kukendalikan diri. Mata kami beradu, dan pendeta muda itu berjalan ke arahku membawa Qahwa-nya. Dia duduk menyebelahku. Yakin bahwa dia adalah yang kutunggu.

"Shalom, akhirnya kita bertemu lagi. kamu masih kelihatan sama...", sapaku.

"Anda siapa?.... Sepertinya telah mengenalku?" tanyanya.

Aku melirik rosario hitamnya yang melilit ditangannya. Kutersenyum dan berkata bahwa dia masih seperti yang aku kenal.

Sang pendeta muda terlihat antara bingung dan yakin bahwa kita pernah bertemu di suatu waktu.

"Bapa, waktuku bersamamu tak banyak. Doakanku agar bisa keluar menjadi diriku sendiri. tidak takut, tidak ragu. Tidak takut menunjukkan kepada dunia tentang siapa diriku sebenarnya. Sama seperti mutiara hitammu yang membelit sebagai rosariomu", pintaku sambil memegang tangannya.

"Dengarkan suara hatimu sendiri. Marilah, kita berdoa bersama", jawabnya. Teduh. Tenang.

"Bapa, bantulah aku untuk menyebarkan kedamaian dalam masaku sendiri. Doakan aku", pintaku sambil melihat kepada matanya.

"Aku pasti akan membantumu", jawabnya tersenyum.

Kekhawatiranku hilang. Aku lega. Tersenyum.

"Peluk aku dalam doamu. Aku pergi sekarang", pamitku padanya.

"Aku titipkan rosario ditanganmu itu sampai kita bertemu kembali", kata si pendeta muda. "Tuhan bersamamu, anakku", bisiknya.

Terdengar ditelingaku suara alarm itu. Memekik-mekik bagai memecah telinga. Aku tahu bahwa mereka semua, termasuk pendeta muda yang duduk didekatku ini, tidak dapat mendengarnya, namun bunyinya bagaikan kilat di siang bolong.

Kutatap matanya. Kukecup pipinya. Aku berjalan keluar kedai itu dengan tenaga yang baru, perasaan yang tentram, dan semangat menyala. Kutembus kerumunan orang yang menyemut berdiri dihadapanku. Berjalan menyusuri anak tangga berbatu di sepanjang jalan bermaterialkan batu pula. Kulalui kereta kuda yang mangkal pas di bawah anak tangga itu, lengkap dengan sais, bau kuda dan ringkikannya.

Sampai berjumpa lagi, bisikku dalam hati.

Dan kilatan cahaya itu menyongsongku kembali.

Baca juga Mutiara Hitam di sambilngupi!. Tulisan ini adalah tulisan yang ditulis oleh dua orang, dari dua sudut pandang yang berbeda.

Reference Pict: fotosearch.com