Tragedi Cumi Hitam
"Ya yang waras ngalah lah" ucapnya sambil mengaduk - aduk garpunya kedalam sepiring gado-gado. Sementara itu jari tangannya satu lagi menari-nari diatas touch pad di Power Book Mac G4 nya untuk memamerkan layout print ad yang baru dibuatnya ke teman disebelahnya. "emang dia mau ngalah sama loe, jek?" kata temannya itu dan tertawa keras sekali. Aku dan dua teman lain di meja itu turut tertawa. "hah ?...sialan" katanya sambil meneruskan penjelasannya mengenai arti dari pesan iklan yang akan di muat di sebuah directory periklanan. "Jadi gambar ini kalo diliat dari sudut yang berbeda punya arti dan message yang berlainan. Bisa optimis, realistis, ilusionis ato juga pesimis" demikian dia menutup penjelasannya. Sementara itu dua temanku yang lain sibuk membicarakan jadwal rekaman untuk album terbaru mereka dan membahas studio mana yang akan mereka pakai.
Aku duduk menatap pesananku yang baru datang, cumi hitam dengan cabe hijau. "Looks good" kataku dalam hati. Suara - suara mereka terdengar jauh dan seperti gaung dalam kepala ku yang saat itu terasa seperti ruang hampa. Sesekali aku dengar tawa mereka dan bunyi sound alert Yahoo Messenger dari Power Book yang tersambung oleh Wi-Fi gratis di restoran dengan makanan khas Jawa yang menawarkan setting dan design interior seperti chilling lounge dan presentasi makanan a la fine dining.
Aku perhatikan tata letak makanan di piringku yang terlihat agak sepi dan kontras sekali dengan dekorasi minimalis antara warna tinta cumi yang hitam pekat, potongan besar cabe paprika dan nasi putih diatas piring lebar berwarna putih. "Looks good" gumamku dalam hati lagi. Sepi tapi kelihatannya enak. Hidangan ku malam ini membuatku kembali teringat akan santapan cumi yang berbeda di sebuah meja makan beberapa bulan yang lalu. Sebuah makan malam yang cozy dan berlanjut dengan obrolan yang kalau mengambil istilah dari seorang teman lain merupakan "mind blowing conversation" di teras rumah dengan banyak tanaman hijau. Aku tersenyum. Senyum pahit. Pahit karena rasa sepi dan getir di hati atau karena lapar yang terasa sejak tadi sore, akupun tidak tahu pasti. Aku ingat pada malam itupun aku sangat lapar tapi suasana hati pada saat itu sangat jauh dari rasa sepi. Aku menggeleng kepalaku seakan mengusir rasa sepi untuk tidak tetap bertengger disitu selama aku menyantap cumi hitam yang ada di depanku ini.
"Slamatzzzzzzzz...." tiba-tiba terdengar seseorang menyapa dari arah ujung meja. Ternyata seorang lagi teman atau dalam istilah bodohku satu lagi agen ganda telah datang untuk bergabung. Agen ganda, sebuah cap yang aku tempel ke segelintir orang yang sering datang ke kantorku yang berada di daerah Gandaria. Dia langsung duduk di kursi sebelah ku dan membongkar tas laptopnya. "Serius amat si loe pak?" dengan mulut setengah penuh aku bertanya ke si agen ganda. "Sedikit cukup serius juga sih kalo diliat situasinya pak, mau email booking konfirmasi about gig nya si Monday Michiru next month.....tapi yang penting suasananya tetep aman kan?" jawabnya sambil menusuk Wi-Fi adapter kedalam tubuh laptop Sony Vaio nya. Yang lain hanya terkekeh mendengar jawabannya, sudah biasa dengan gaya bicaranya yang sering ngga nyambung dan acakadut antara dua bahasa itu. Aku hanya bergumam "ohh....." sambil merenung. Sebutan agen ganda dengan double meaning itu membawaku ke sebuah istilah lain yang mirip, agen beras. Lamunan ku mengenai beras terhenti ketika salah satu dari teman musisi yang ada di meja itu melempar ide untuk tahun baru. "ke Lombok yuk tahun baru" katanya. "Bali bosen, Jakarta mati lah....kita ke Lombok aja rame-rame" lanjutnya. "Setuju, kita di tempat Philipe aja di Tao Kombo" kata si agen ganda sambil tetap sibuk mengirim emailnya. "Jadi kita bikin Ibiza nih di Gili Meno ?" kata si pembuat reklame. "Berangkat pak" kataku sambil menghabiskan sisa nasi di piringku yang sekarang sudah berubah menjadi hitam.
Sementara obrolan tahun baru terus berlanjut dengan rencana membuat Ibiza a la Lombok, aku menatap cheting atau tempat nasi tradisional khas Jawa terlihat sudah setengah kosong di depan ku. Kembali pikiranku melayang dan melamun mengenai beras. Aku berpikir mengenai impor beras yang sedang ramai dibicarakan. Kalau akan mengambil istilah si pembuat iklan tadi mengenai arti dan pesan dari design yang dia buat maka aku sedikit agak bingung mau memilih yang mana. Negara agraris kok masih harus meng impor beras. Sama tidak masuk akalnya dengan kondisi negara yang memiliki minyak tapi terus menerus menaikan harga BBM . Apakah keputusan untuk mengimpor beras merupakan langkah realistis, ilusionis atau pesimis? Padahal stok beras tidak kurang dan kalaupun akan menurun karena harus memberi makan rakyat miskin kenapa tidak beli saja dari petani lokal sehingga dapat membantu sektor pertanian dimana banyak rakyat miskin yang bekerja di sektor itu. Ini lebih baik daripada buang uang untuk membeli dari luar negeri yang otomatis pasti menggunakan mata uang asing. Makin miskin saja nanti negara kita. Aku membayangkan para petani beras itu pasti sedang merasakan rasa sepi yang jauh lebih dalam dengan adanya distorsi pasar seperti ini. Mungkin juga rasa getir dan pahit atas ketidak adilan yang mereka rasakan dari tidak adanya keberpihakan pemerintah disisi mereka.
Lamunan ku melayang kembali ke teras dengan banyak tanaman hijau itu dan teringat dengan plakat yang di tempel di satu sisi dinding luar dirumah itu. Sebuah penghargaan untuk jasa atas rasa nasionalisme yang tinggi dari salah satu pemilik rumah yang telah almarhum. Pasti beliau pun merasakan getir dan pahit yang sama saat ini kalau masih hidup. "Ya yang waras ngalah lah" kembali terngiang di telingaku. Siapa yang waras dan siapa yang harus mengalah dalam situasi dan suasana yang tidak aman ini? Mudah -mudahan tahun baru yang akan datang ini akan membawa rasa optimis yang realistis dan bukan pesimis atau ilusionis dari hal-hal yang tidak masuk akal.
Aku duduk menatap pesananku yang baru datang, cumi hitam dengan cabe hijau. "Looks good" kataku dalam hati. Suara - suara mereka terdengar jauh dan seperti gaung dalam kepala ku yang saat itu terasa seperti ruang hampa. Sesekali aku dengar tawa mereka dan bunyi sound alert Yahoo Messenger dari Power Book yang tersambung oleh Wi-Fi gratis di restoran dengan makanan khas Jawa yang menawarkan setting dan design interior seperti chilling lounge dan presentasi makanan a la fine dining.
Aku perhatikan tata letak makanan di piringku yang terlihat agak sepi dan kontras sekali dengan dekorasi minimalis antara warna tinta cumi yang hitam pekat, potongan besar cabe paprika dan nasi putih diatas piring lebar berwarna putih. "Looks good" gumamku dalam hati lagi. Sepi tapi kelihatannya enak. Hidangan ku malam ini membuatku kembali teringat akan santapan cumi yang berbeda di sebuah meja makan beberapa bulan yang lalu. Sebuah makan malam yang cozy dan berlanjut dengan obrolan yang kalau mengambil istilah dari seorang teman lain merupakan "mind blowing conversation" di teras rumah dengan banyak tanaman hijau. Aku tersenyum. Senyum pahit. Pahit karena rasa sepi dan getir di hati atau karena lapar yang terasa sejak tadi sore, akupun tidak tahu pasti. Aku ingat pada malam itupun aku sangat lapar tapi suasana hati pada saat itu sangat jauh dari rasa sepi. Aku menggeleng kepalaku seakan mengusir rasa sepi untuk tidak tetap bertengger disitu selama aku menyantap cumi hitam yang ada di depanku ini.
"Slamatzzzzzzzz...." tiba-tiba terdengar seseorang menyapa dari arah ujung meja. Ternyata seorang lagi teman atau dalam istilah bodohku satu lagi agen ganda telah datang untuk bergabung. Agen ganda, sebuah cap yang aku tempel ke segelintir orang yang sering datang ke kantorku yang berada di daerah Gandaria. Dia langsung duduk di kursi sebelah ku dan membongkar tas laptopnya. "Serius amat si loe pak?" dengan mulut setengah penuh aku bertanya ke si agen ganda. "Sedikit cukup serius juga sih kalo diliat situasinya pak, mau email booking konfirmasi about gig nya si Monday Michiru next month.....tapi yang penting suasananya tetep aman kan?" jawabnya sambil menusuk Wi-Fi adapter kedalam tubuh laptop Sony Vaio nya. Yang lain hanya terkekeh mendengar jawabannya, sudah biasa dengan gaya bicaranya yang sering ngga nyambung dan acakadut antara dua bahasa itu. Aku hanya bergumam "ohh....." sambil merenung. Sebutan agen ganda dengan double meaning itu membawaku ke sebuah istilah lain yang mirip, agen beras. Lamunan ku mengenai beras terhenti ketika salah satu dari teman musisi yang ada di meja itu melempar ide untuk tahun baru. "ke Lombok yuk tahun baru" katanya. "Bali bosen, Jakarta mati lah....kita ke Lombok aja rame-rame" lanjutnya. "Setuju, kita di tempat Philipe aja di Tao Kombo" kata si agen ganda sambil tetap sibuk mengirim emailnya. "Jadi kita bikin Ibiza nih di Gili Meno ?" kata si pembuat reklame. "Berangkat pak" kataku sambil menghabiskan sisa nasi di piringku yang sekarang sudah berubah menjadi hitam.
Sementara obrolan tahun baru terus berlanjut dengan rencana membuat Ibiza a la Lombok, aku menatap cheting atau tempat nasi tradisional khas Jawa terlihat sudah setengah kosong di depan ku. Kembali pikiranku melayang dan melamun mengenai beras. Aku berpikir mengenai impor beras yang sedang ramai dibicarakan. Kalau akan mengambil istilah si pembuat iklan tadi mengenai arti dan pesan dari design yang dia buat maka aku sedikit agak bingung mau memilih yang mana. Negara agraris kok masih harus meng impor beras. Sama tidak masuk akalnya dengan kondisi negara yang memiliki minyak tapi terus menerus menaikan harga BBM . Apakah keputusan untuk mengimpor beras merupakan langkah realistis, ilusionis atau pesimis? Padahal stok beras tidak kurang dan kalaupun akan menurun karena harus memberi makan rakyat miskin kenapa tidak beli saja dari petani lokal sehingga dapat membantu sektor pertanian dimana banyak rakyat miskin yang bekerja di sektor itu. Ini lebih baik daripada buang uang untuk membeli dari luar negeri yang otomatis pasti menggunakan mata uang asing. Makin miskin saja nanti negara kita. Aku membayangkan para petani beras itu pasti sedang merasakan rasa sepi yang jauh lebih dalam dengan adanya distorsi pasar seperti ini. Mungkin juga rasa getir dan pahit atas ketidak adilan yang mereka rasakan dari tidak adanya keberpihakan pemerintah disisi mereka.
Lamunan ku melayang kembali ke teras dengan banyak tanaman hijau itu dan teringat dengan plakat yang di tempel di satu sisi dinding luar dirumah itu. Sebuah penghargaan untuk jasa atas rasa nasionalisme yang tinggi dari salah satu pemilik rumah yang telah almarhum. Pasti beliau pun merasakan getir dan pahit yang sama saat ini kalau masih hidup. "Ya yang waras ngalah lah" kembali terngiang di telingaku. Siapa yang waras dan siapa yang harus mengalah dalam situasi dan suasana yang tidak aman ini? Mudah -mudahan tahun baru yang akan datang ini akan membawa rasa optimis yang realistis dan bukan pesimis atau ilusionis dari hal-hal yang tidak masuk akal.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home