Saturday, January 21, 2006

Kota Tua Yerusalem

Beruntung aku membawa pashmina hitam buluk kali ini. Kututup rambut merahku, dan menyelempangkan ujung pendeknya dipundakku. Beruntung cukup panjang pashmina ini sehingga bisa menutup kaos merah membara bertuliskan New York Yankees dengan baik. Beruntung lagi aku menggunakan slack hitam, dan bukan rok jeans mini yang kusilet-silet ujungnya. Kulirik meja sebelahku, yang duduk seorang tua berjanggut putih dengan panjang kira-kira tigapuluh sentimeter, menggunakan baju serba hitam dan topi panjang warna senada, yang mengobrol dengan seorang lelaki muda berkacamata bulat dengan potongan rambut yang aneh seperti batok mini di balik. Ditangannya masing-masing memegang mug keramik yang oversized bercatkan warna terakota. Teringatkanku akan mug beling babah cong berisi air putih yang menemaniku sepanjang hari depan komputerku. Kuperhatikan pakaian si tua yang terlihat di bawah mejanya, aneh sekali, celananya cingkrang, terlihat dari panjangnya kaos kaki putihnya yang kriting seakan takuna (tak kuat nanjak) yang nampak, kontras dengan warna celana, sepatu, dan lantainya yang serba gelap. Aku tersenyum geli sambil menunduk. Gemerincing terdengar, kulihat seorang wanita separuh baya menggunakan pakaian serba panjang berwarna-warni melintas di depanku. Hmm.. cantik. Didahinya bergelantung hiasan yang berwarna keemasan. Kedua tangannya penuh dengan asesori, tak ketinggalan telinganya dan lehernya. Kontras juga dengan si tua. Seperti sebuah foto hitam putih yang ditempel foto full color yang sering kulakukan sehari-hari. Pemandangan indah. Persis seperti kota ini, gunung yang kelabu, langit yang biru terang, hamparan rumput yang hijau, beserta dengan arsiteknya yang cenderung gelap namun terbuka.

Hari ini aku sudah menunggunya selama empat jam. Hari mulai sore, dan ruangan kedai itu mulai gelap. Tempat paling ujung kupilih - seperti biasa - agar bisa terlewat dari atensi orang. Kebiasaanku tidak menggunakan make up sangat membantu. Kupandang sekeliling ruangan, berusaha sebaik mungkin agar tidak melakukan kontak mata dengan penduduk sekitar. Tidak yakin aku yang mana pemuda itu, dan biarlah feelingku yang menemukannya. Kuingat sebelum berangkat aku mengirimkan pesan kepada pemuda itu,
Aku akan menunggumu di sebuah kedai kopi di bagian selatan Kota Tua, dekat Tembok Menangis
Mudah-mudahan dia mengerti. Lamat-lamat kudengar suara-suara menyelimutiku, seperti bahasa yang sering kudengar di gereja atau film horror yang melibatkan mengusiran roh, dan bahasa seperti adzan dan film-film arab yang kutonton sekali waktu.

Aku harus bertemu dengannya lagi! Walaupun aku mencarinya sampai keseluruh jagad raya! Kuingat pertemuan dengannya yang terakhir. Beberapa pertanyaan lanjutan belum sempat aku dapatkan jawabannya darinya sejak sore itu. Jazirahku yang karatan. Aku ingin melepaskan kepenatanku menanggung harga diri, kebanggan, nama baik, dan gengsiku sendiri. Kulihat sekelilingku sekarang. Semua orang berjalan dengan apa adanya. Begitu wajar, begitu natural. Kuharus minta bantuannya. Suatu tanda apapun darinya untuk membantu melepaskanku dari kegundahan diri sendiri.

Kulihat tikus-tikus berlarian di lantai, bagaikan menari di lantai batu ini. Aku harus tahan kegelian ini. Aku harus sabar. Kujingkatkan jari-jari kakiku dengan hati-hati sekali seiringan dengan lewatnya tikus di antara kakiku. Jadi seperti ini abad sembilanbelas. Dari jendelanya yang sebesar pintu apartemenku, aku bisa langsung membaui udaranya yang manis, dan rumputnya yang renyah. Beda dengan bau udara apartemenku yang banyak kupakai wewangian artifisial di pendingin ruangan.

Sudah kuhabiskan 2 mug besar Qahwa. Rasa kopinya yang rada-rada asin dan gurih, sangat berbeda dengan kopi yang kubuat dari coffee maker setiap pagi. Namun apa boleh buat, karena minuman lain sangat tidak jelas dalam kamusku. Bibir gatal dan lidah asam merasakan tendangan keinginan mendapatkan asupan asap nikotin. Harus berapa lama lagi? Waktuku kali ini tidak banyak. Kulirik jam tanganku dengan hati-hati. Jam tangan berstrap logam tidak mungkin berkilat di tempat gelap ini, hanya jarumnya yang perlu diwaspadai karena berpendar menyisakan cahaya matahari yang terserap sejak tadi pagi. Tigapuluh menit lagi, pikirku. Aku harus bertemu dengannya!

Tak lama kemudian, kulihat seorang pendeta memasuki kedai ini. Kutangkap wajahnya sewaktu dia menoleh kearahku. Seorang pemuda berwajah sangat bersih dan suci. Aku yakin bahwa dia adalah yang kutunggu. Deg-deg jantungku berdenyut, dan hampir mungkin meloncat keluar melalui kerongkorangan jika tidak segera kukendalikan diri. Mata kami beradu, dan pendeta muda itu berjalan ke arahku membawa Qahwa-nya. Dia duduk menyebelahku. Yakin bahwa dia adalah yang kutunggu.

"Shalom, akhirnya kita bertemu lagi. kamu masih kelihatan sama...", sapaku.

"Anda siapa?.... Sepertinya telah mengenalku?" tanyanya.

Aku melirik rosario hitamnya yang melilit ditangannya. Kutersenyum dan berkata bahwa dia masih seperti yang aku kenal.

Sang pendeta muda terlihat antara bingung dan yakin bahwa kita pernah bertemu di suatu waktu.

"Bapa, waktuku bersamamu tak banyak. Doakanku agar bisa keluar menjadi diriku sendiri. tidak takut, tidak ragu. Tidak takut menunjukkan kepada dunia tentang siapa diriku sebenarnya. Sama seperti mutiara hitammu yang membelit sebagai rosariomu", pintaku sambil memegang tangannya.

"Dengarkan suara hatimu sendiri. Marilah, kita berdoa bersama", jawabnya. Teduh. Tenang.

"Bapa, bantulah aku untuk menyebarkan kedamaian dalam masaku sendiri. Doakan aku", pintaku sambil melihat kepada matanya.

"Aku pasti akan membantumu", jawabnya tersenyum.

Kekhawatiranku hilang. Aku lega. Tersenyum.

"Peluk aku dalam doamu. Aku pergi sekarang", pamitku padanya.

"Aku titipkan rosario ditanganmu itu sampai kita bertemu kembali", kata si pendeta muda. "Tuhan bersamamu, anakku", bisiknya.

Terdengar ditelingaku suara alarm itu. Memekik-mekik bagai memecah telinga. Aku tahu bahwa mereka semua, termasuk pendeta muda yang duduk didekatku ini, tidak dapat mendengarnya, namun bunyinya bagaikan kilat di siang bolong.

Kutatap matanya. Kukecup pipinya. Aku berjalan keluar kedai itu dengan tenaga yang baru, perasaan yang tentram, dan semangat menyala. Kutembus kerumunan orang yang menyemut berdiri dihadapanku. Berjalan menyusuri anak tangga berbatu di sepanjang jalan bermaterialkan batu pula. Kulalui kereta kuda yang mangkal pas di bawah anak tangga itu, lengkap dengan sais, bau kuda dan ringkikannya.

Sampai berjumpa lagi, bisikku dalam hati.

Dan kilatan cahaya itu menyongsongku kembali.

Baca juga Mutiara Hitam di sambilngupi!. Tulisan ini adalah tulisan yang ditulis oleh dua orang, dari dua sudut pandang yang berbeda.

Reference Pict: fotosearch.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home