Friday, July 21, 2006

stockings

Pagi ini, aku berada depan laptopku seperti biasa. Mengejar deadline baru penyelesaian report yang telah berbulan-bulan tertinggal. Kuhirup dalam isi dari secangkir besar kopi banci panas. Cangkir kedua. Enak sekali udara hari-hari ini -- bulan Juli sampai Agustus biasa angin dingin -- menemani ritual kegiatan setiap hari.

Lagu-lagu berlirik bahasa Indonesia terdengar dari ruangan kerja sebelah. Sesekali kuikuti liriknya, jangan pergi dariku, tinggalkanku, bawa daku kemana kau pergi. Kompilasi mp3 lagu-lagu berbahasa Indonesia yang aku beli dari Yogyakarta dari trip terakhirku. Berhubung kompilasi, jadi tidak semua album dari kompilasi itu aku suka, malah terkadang tdak tahu ini lagu apa, atau malah grupnya?

Kali ini aku biarkan saja lagunya bermain tanpa aku seleksi. Kalau tidak kenal lagunya biasanya masuk telinga kanan, keluar kiri, dan sebaliknya. Aku tidak yakin yang mana dulu, tapi aku juga tidak peduli.

Aku berpikir keras depan laptopku, bagaimana merangkai kalimat yang bagus di paragraf kedua bab baru report sialan ini, sampai akhirnya kutersadar bahwa hampir semua kata-kata di setiap lirik lagu yang dimainkan dari tadi memiliki tema yang sama. Cinta.

Memang bukan berita baru sih. Standar malah.
Cuma, pagi ini begitu mengena.
Sempat aku terlena dan masuk kedalam cerita liriknya, membayangkan bahwa liriknya adalah hidupku, aku memeluknya erat, menangis dipelukannya, dikecupnya penuh cinta bibirku, ditatap dalam-dalamnya mataku, sampai akhirnya dia pegi, meninggalkanku.
Meneteslah air mataku.

Aku membayangkan pengalaman hidupku?
Bukan.

Biasa, perempuan.
Mau datang bulannya.
Yang dibayangin tadi juga KD, kok.

Stocking, boooo....

Lelaki Buaya Darat

....Buset! Aku tertipu lagi... Mulutnya manis sekali tapi hati bagai srigala...

Tersenyumlah Maria. Kejadian meyebalkan sudah berlalu enam bulan lamanya.
Eh, lagunya di pasaran ada sekarang. Hebat, kata Maria suatu kali kepada sahabatnya, Miriam, bahwa Maia sang pentolan Ratu, sangat brilian dalam menciptakan setiap lagunya. Kata-kata dan melodi yang sangat mudah diterima oleh masyarakat, selalu menjadikan setiap lagu barunya menjadi hits.

Ada-ada aja, pikir Maria sambil menunggu bridge lagu tersebut selesai.

... Kutertipu lagi, kutertipu lagi ...

"Yang, kemeja ini bagus, ya? Tapi saya lagi nggak punya uang nih, belum gajian", sahut Leo sambil memberi Maria mimik muka sedih dan ngiler sambil memegang-megang kemeja di butik terkenal siang itu.
"Sayang mau ya? Saya bisa belikan dululah kalau yayang mau", kata Maria sambil menyuruh sang pramuniaga membungkuskan baju itu.
Memang sih sudah empat kali selama sebulan ini mereka pacaran, Maria membelikan pakaian untuknya.
Nggak papalah, saya kan selalu minta diantar jemput pulang dari kuliah ini, pikirnya. Kadang Maria heran juga, bagaimana mungkin Leo bisa bilang selalu nggak punya uang, padahal setiap minggu pasti terjadi modifikasi di mobilnya itu. Nggak modif besar, nggak kecil.

Ah, nggak papalah. Saya kan cinta dia. Dia pun pasti cinta saya, jadi nggak mungkin saya dikadalin.

... Kuberikan semua cinta harta dan jiwaku ...

Sampai satu ketika, Maria mulai merasa jengah, karena selain 5 biji kemeja-kemeja mahal itu, masih ada kacamata Rayban, dan jam tangan bermerk Tag Heuer. Masa sih Leo ga punya duit?

Bagaimana kalau....

Selamat sore semua, ketemu lagi kita empat bersaudara di acara... Playboy Kabel Bersaudara!

Pendek cerita, berhasillah Shanti, sang penggoda, memikat Leo yang telah dikadalin untuk menjadi pacarnya dengan imbalan 15 juta perbulan!

Hey, buaya! kita putus! Dasar matre!
Basi loe!, hardik Leo sewaktu melihat Maria keluar dari persembunyiannya yang diikuti oleh keempat bersaudara itu.

Sakit? iya sih, waktu itu, pikir Maria.
Ah, sudah waktunya dia bahagia bersama pacarnya yang lama, Edwin, yang sudah dia kadalin juga selama berjalan dengan sang penjahat wanita -Leo.

... untungnya aku masih punya kekasih yang lainnya, tetapi mengapa aku masih saja tertipu olehnya ...?


Diilhami oleh lagu "Lelaki Buaya Darat" oleh Ratu, dan suatu episode acara televisi "Playboy Kabel Bersaudara"

si lima

bye, five!
si lima puluh berpamitan pada kami semua.
dan bye, kami semua menjawab.
tidak tahu berapa lama lagi aku harus menunggu.

excuse me, excuse me
kata si kakek sambil tersenyum menerabas kerumunan orang yang menunggu lampu merah untuk menyeberang.
siang itu hujan.

tek tek, tek tek
tongkat besi sang kakek berbunyi beradu dengan jalanan,
sepatu ibu-ibu tua yang membawa tas merah,
sepatu adik kecil yang digandeng bapaknya,
dan si belang yang sedari tadi duduk di sana.

si belang terkejut lantas beranjak,
si adik terpana melihat tongkat sang kakek,
dan si ibu melotot lantas menyeringai.
tek tek, tek tek.

tiga hari sudah aku berada di tempat yang pengap ini.
panas tidak, basah tidak.
tapi mending daripada aku harus berada di tempat yang berbau amis,
tempat terakhir sebelum di sini.
sebelumnya lagi aku berada di tempat berdebu,
dalam tempat keras berbunyi nyaring selama beberapa waktu.
sebelumnya lagi, aku berada di tempat berasap yang berbau sedap.
seperti bau makanan yang digoreng.

tiba-tiba bye semua,
kata si sepuluh panjang, satu bulat, dan duapuluh bulat tidak lama kemudian.
bye kata kami - dan saya - lagi.
berapa lama lagi?

thank you,
kata erick sebelum menutup tempat pengap ini.
terguncang lagi kami kebawah, sebelum kemudian naik lagi.
masuklah si dua panjang baru,
dan tanpa dinyana,
aku merasakan badanku ditarik dengan kasar.

thankyou,
kata si erick lagi.
terang!
aku bisa bernapas.
kuhirup dalam-dalam bau hujan dengan cepat sebelum masuk ke tempat gelap lainnya.

krek-krek
aku merasa diriku panas aku diremat!
dan gelap kembali.

hey semua
hey, kata mereka
lima, duapuluh, satu - semua bulat.
dan satu pemantik.
seperti biasa aku merasakan diriku berayun.

di tempat yang luar biasa sempit ini hampir mustahil aku tidak menyentuh badan teman-teman bulat yang lain.
badanku sakit.
ngilu,
tergores.

biasakan dirimu, lima panjang,
kata mereka semua,
tempat ini jauh lebih enak daripada seharian dalam kain yang bau.
memang sih, wangi parfum tersebar di sini.
sambil berayun aku bisa merasakan hujan lamat-lamat mengenaiku tembus melalui kain tempat aku diletakkan.

dan tiba-tiba,
kami merasakan ayunan melambat.
dari kejauhan aku dengar bunyi seruling.
merdu sekali.
kami behenti.
suara itu membius kami.
si duapuluh yang berparas ayu berkulit bening tersenyum padaku dan katanya,
ayolah berdansa denganku, lima!
dan kami berdansa.
teman yang lain bersiul-siul,
dan sisanya bertepuk tangan.

belum pernah aku merasakan senyaman ini.
sampai akhirnya,
tangan besar berbulu yang berbau tembakau masuk kedalam kantong celananya.
kami semua tergetar.
semua berhenti menikmati suara seruling merdu itu dan,
sesegera setelah itu,
terang di depan kami.
bau hujan,
bunyi seruling menghentak kami.

bapak, terimakasih atas lagunya, teringatlah aku akan seseorang yang pernah kucinta di waktu yang lampau,
kata lelaki berbau tembakau campur parfum ini dalam bahasa inggris berlogat cina.
bapak itu mengangguk sambil melepaskan serulingnya dari bibirnya,
dan tersenyum menerima kami.

berpindahlah kami,
kepingan uang logam dan kertas,
ke tangan bapak tua buta bertongkat besi,
di bawah gerimis hujan,
di suatu taman di orchard road,
singapura.