Tikar, Payung, dan Sebotol Air Mineral
Bunyi erangan laki-laki itu sangat mengganggu telinganya. Bau busuk sungai dihadapannya bercampur dengan bau keringat dan aroma mulut seonggok manusia bejat yang sedari tadi menindihnya. Mual perutnya. Nyamuk-nyamuk menyerang paha perempuan setengah baya itu, gigitan semut rangrang membuat gatal kaki dan tangannya. Lelaki itu berdiri sebentar, dan langsung melepas celana panjang lusuhnya. Dia kemudian buru-buru menindih tubuh mungilnya. Kasar sekali, pikirnya. Demi anakku. Dirasakannya bagian tubuh lelaki itu yang sudah sangat keras menyerang bagian tubuhnya. Tidak ada yang prifat lagi. Sesaat rasa sakit dibagiannya berpindah ke bagian belakangnya yang menggesek kulitnya. tikar tipis yang dibawahnya ada beberapa batu kecil. Sial, pikirnya, tidak bersih benar aku menghilangkan batu-batu ini. Dipejamkan matanya. digigit sedikit bibir bawahnya. Dibiarkan laki-laki menggerilya dan menghujani badannya di sana. Sakit. Bagian sana dan hatinya. Diliriknya botol air mineralnya yang diletakkan tidak jauh darinya dikegelapan malam itu. Demi anakku, kuatnya pada dirinya sendiri.
Beberapa menit berlalu, sepertinya berjam-jam rasanya. Sang onggokan daging bejat sudah puas nampaknya. Dia berdiri dan membenahi celananya. Diambilnya dompet, dan dilemparkannya uang tigapuluh ribuan ke dada si perempuan yang masih terlentang dengan rok yang terangkat. Si perempuan lega - karena usai sesi ini, dan karena dia mendapat ekstra lima ribu rupiah. Sang lelaki pergi sambil menyulut rokok cengkehnya. Baunya menghilang mengikuti hilangnya bayangan sang lelaki.
Sang wanita membenahi bajunya, menggulung tikar tipisnya yang sudah bolong sana-sini dan melipatnya ke dalam tas besarnya, mengambil payung dan botol air mineralnya. Diterabasnya gelapnya malam dengan ribuan nyamuknya, dan pergi ke pangkalannya lagi. Di Halte Bis Kotabaru.
*Diilhami oleh sang 'legenda' Kota Yogyakarta, Yu Darmi.
Image taken by Endang Widiati, Edited by Tolelojing
Catatan: tulisan ini tidak ada hubungannya dengan impor beras.
Beberapa menit berlalu, sepertinya berjam-jam rasanya. Sang onggokan daging bejat sudah puas nampaknya. Dia berdiri dan membenahi celananya. Diambilnya dompet, dan dilemparkannya uang tigapuluh ribuan ke dada si perempuan yang masih terlentang dengan rok yang terangkat. Si perempuan lega - karena usai sesi ini, dan karena dia mendapat ekstra lima ribu rupiah. Sang lelaki pergi sambil menyulut rokok cengkehnya. Baunya menghilang mengikuti hilangnya bayangan sang lelaki.
Sang wanita membenahi bajunya, menggulung tikar tipisnya yang sudah bolong sana-sini dan melipatnya ke dalam tas besarnya, mengambil payung dan botol air mineralnya. Diterabasnya gelapnya malam dengan ribuan nyamuknya, dan pergi ke pangkalannya lagi. Di Halte Bis Kotabaru.
*Diilhami oleh sang 'legenda' Kota Yogyakarta, Yu Darmi.
Image taken by Endang Widiati, Edited by Tolelojing
Catatan: tulisan ini tidak ada hubungannya dengan impor beras.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home