Tuesday, February 14, 2006
Wednesday, February 01, 2006
Manusia Setengah Bintang
I can see the stars come through my room
While your loving attitude
Is like a flame that lights the gloom
WANITA itu duduk memandang ke langit dari dunianya yang diselubungi oleh sebuah bahan seperti kaca. Dari dalam ruangannya yang gelap dan hangat, nyaman dirasakan memandang ribuan bintang bertabur. Novel elektronik sepanjang delapan megabytes dalam papan itu dia geletakan begitu saja. Tiga minggu sudah, namun belum satu halaman pun berhasil beranjak dari bab tiga. Konsentrasinya buyar setelah hati tak enak. Dadanya seperti tertusuk-tusuk ribuan jarum, kesedihan dan kepiluan tercurah. Apa yang terjadi?, pikirnya. Dia pun kemudian duduk bersandarkan bantal merah metalik bulat itu. Diraihnya sisir antik dari laci meja kecil disamping tempat tidurnya, dan mulai menyisir rambut hitamnya yang panjang dan tebal....
satu... dua... tiga... Dihitungnya setiap sisiran....
Dia memejamkan matanya merasakan kenyamanan rasa sisir yang mengenai kulit kepalanya.
"Rambutmu panjang dan sangat tebal, PJ". Diciumnya ujung rambut yang dipegangnya. "Jangan dipotong, ya? Aku suka". Disisirnya rambutnya yang panjang itu."Ini sisir peninggalan orang tuaku", sebuah sisir logam yang berukir bewarna kekuningan kemudian diberikan kepadanya.
Air matanya menetes mengingat saat itu. Emosi yang dilibatkan membawanya kembali ke ruangan ini. Tugas menyebarkan kebaikan dan kedamaian sudah diembannya selama dua ratus tahun, dan baru kali itu dia gagal melakukan misi itu. Kontrak yang dia tandatangani hampir saja disobek dan dibakar oleh para tetua, jika tidak dia berhasil meyakinkan mereka bahwa hal ini tidak akan terjadi lagi -- selain karena wanita itu juga adalah keturunan ke delapan tetua Zeuflah, tetua yang memiliki jasa bagi dunia itu. Wanita itu akhirnya membayar kegagalannya dengan mengabdikan diri dalam komunitas spiritual masyarakat. Dia memaksakan diri melupakan semuanya....
sembilan belas... dua puluh... dua puluh satu......
Kebaikan dan kedamaian adalah tujuan hidup komunitas itu. Mereka adalah generasi keduabelas, dibentuk oleh nenek moyang mereka yang saling berjanji untuk menyebarkan kedamaian dan kebaikan di masa-masa yang lalu, dan berharap dengan itu bangsa manusia tidak menjadi punah.
Walaupun mereka setengah manusia setengah bintang, namun nenek moyang mereka sebetulnya juga adalah manusia bumi yang berasal dari abad ke duapuluh empat, dimana teknologi sudah sangat maju. Dunia mereka bernama Cyane, yang mereka tempati adalah suatu planet kecil yang terletak beberapa tahun cahaya di luar Galaxy Andromeda.
Masih menyisir, wanita itu berjalan menuju ke balkon ruangannya. Rambutnya yang merah melambai-lambai terkena angin. Dilihatnya carza - kendaraan transportasi komunitas individu - bersliweran kesana kemari. Lampu-lampu yang berjejer sangat rapi di apartuez - rumah tinggal komunitas - terlihat dari balkonnya. Tiba-tiba...
tit tit... tit tit...
Wanita itu memalingkan wajahnya dan menjawab setengah berteriak,
"Ya?"
"Jamzz, Petalia Jamzz?"
"Ya?, saya sendiri"
"Sambungan jarak jauh dari Dixie. Diterima?"
Pasti Souxet Teuph, sahabatnya.
"Ya! Sambungkan!"
"Teuph! Sahabatku. Shelamla!"
"Shelamla Jamzz. Apa kabar kasihku?"
Sang wanita mengambil duduk di sofa kecilnya dekat kasurnya. "Baik selalu buatmu, sahabatku. Apa yang membuatmu menghubungiku di malam hangat ini?"
"Keinginanku sangat kuat menghubungi dan menanyakan kabarmu.
Aku tidak melakukannya dengan cara telepati seperti yang biasa kita lakukan, aku
ingin mendengar suaramu, manisku"."Aku sangat baik! Kemampuan kinetikmu mungkin sedang tidak benar terkena panas bleux nampaknya", canda Jamzz menutupi keadaan sebenarnya. Bleux adalah sebutan bagi sumber energi panas mereka.
Perasaan yang dia punya saat ini adalah larangan didunianya. Hukuman atas pelanggaran perasaan cinta kepada komunitas dimensi lain sangat berat.
Beberapa saat, percakapan itu selesai, perasaan Jamzz sedikit terobati. Dia bersiap untuk menyambut hari yang baru. Tujuh puluh empat jam bumi, adalah satu hari Cyane.
JAMZZ mempersiapkan segala peralatan berdoa pagi itu. Dari jegalza - altar - sampai pada xwegalza - lonceng kecil yang dipakai untuk ritual berdoa masing-masing individu - dipersiapkan dengan baik. Setengah bilu lagi mulai. Bilu adalah kira-kira delapan puluh tiga menit bumi, ukuran satu untuk jam. Dia membawa naik rambut panjangnya ke atas, dan memuntirnya dengan tangannya. Dijepitnya puntiran rambutnya dengan penjepit. Dia mematut dirinya dan menggunakan selendang berwarna keperakan, sesuai dengan warna baju panjangnya - baju berdoa yang dipakai komunitas itu. Kemudian dia bergegas keluar ruangan jegalza untuk menyambut para pendoa....
"Shelamla, pendamai Jamzz", ujar para pendoa yang berdatangan sambil mengatupkan kedua tangan sampai ketinggian hidung sambil mengangguk.
"Shelamla", balas Jamzz.
Jamzz kemudian memasuki ruangan jegalza bersama dengan semua pendoa, menunggu sang pendeta memasuki ruangan yang sama. Kebanyakan dari mereka menundukkan kepala sambil mengacung-acungkan xwegalza, sehingga ruangan yang tadi riuh karena hiruk pikuk pendoa, berganti dengan bunyi lonceng kecil itu.
"Shelamla". Akhirnya pendeta memasuki ruangan itu disambut oleh xwegalza yang dilambai-lambaikan oleh pendoa, yang artinya mengelukan kedatangan.
Sesi berdoa berjalan sampai setengahnya, ketika Jamzz merasakan hatinya kembali bak diiris sembilu.
"Perasaan ini datang lagi", pikir Jamzz yang masih mengikuti proses berdoa sambil menutup mata dan berlutut, memegang xwegalza di dalam katupan kedua tangannya. Gelisah ia mengikuti doa-doa yang dipanjatkan....
*bersambung*
Tulisan ini adalah sambungan dari Bintang Jatuh.
Diilhami oleh lagu Ella Fitzgerald - In a Sentimental Mood.
Picture taken by tolelojing.