Saturday, January 21, 2006

Mutiara Hitam

(Terdengar bunyi motor meraung dari bengkel sebelah. Berisik sekali. Laptop ku terbuka diatas meja panjang di ruang kerjanya. Beberapa proof print pernak pernik perhiasan yang terbuat dari mutiara tergeletak di meja itu. Wajahnya kelihatan tegang seperti biasa setiap akan mengikuti pameran perhiasan international. “Kok ga ada yang bagus sih gambarnya buat di print di catalog” katanya uring-urningan. Aku hanya tersenyum. Sudah biasa melihat dia berubah jadi “miss panicky” dan mendengar ocehan nya yang kadang tidak masuk akal. Poto –poto perhiasan yang akan dicetak di catalog sudah sesuai dengan apa yang kita berdua inginkan. Seorang fotografer langganan kita dengan spesialisasi high fashion jewelry sudah memberikan hasil still shots yang maksimal seperti biasanya. Kadang aku heran bagaimana seorang yang gampang panic seperti ini dapat menjadi dive master yang sering melakukan riset bawah laut bahkan sampai ke perairan Karibia dan yang selalu teliti memeriksa setiap kerang yang ada di peternakan bawah laut itu untuk memastikan hasil panen yang bagus.“Liat ini deh” aku coba mengalihkan perhatiannya ke layar monitor laptopku dimana ada gambar design rosario terbuat dari mutiara hitam pesanan sebuah outlet langganan kami dari Eropa. “Hmmm….bagus banget. Simple tapi sangat spiritual”. jawabnya. “Aku selalu suka design - design kamu” sambungnya lagi. Aku hanya tersenyum. Sudah biasa dengan pujiannya atas design perhiasan yang aku buat untuk perusahaan kami berdua itu. “Jadi kapan proof print ini bisa naik cetak, waktunya udah dikit lagi gitu lho” katanya lagi dengan kepanikannya yang tidak beralasan. “Sante aja gitu lho, it’s all been taking care of” kata ku menenangkan dia. "What about the insurance for the shipment?" tanyanya lagi. "Done" jawabku pendek. “God, why do I always feel like a lost little girl every time before an exhibition?” katanya mengeluh. “Udah tenang lah, this is not our first time. Berdoa aja” kataku sambil menghirup kopi panas yang baru saja dia buatkan untuk ku. “I love that rosario” katanya lagi. “ Makasih” kataku sambil kembali mengingat dari mana sebetulnya ide design itu kudapatkan. “Stress banget aku, I need a hug” katanya tiba-tiba sambil menatapku. Aku berdiri menghampiri mejanya dan kupeluk dia dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Dia masih dalam pelukanku ketika suara motor meraung perlahan berganti menjadi …… )

Bunyi lonceng gereja di salah satu sudut Kota Tua (Old City) di Yerusalem. Suara lonceng itu mengiringi langkah seorang pendeta muda dengan jubah hitam panjang yang berjalan cepat kearah Via Dolorosa. Sebuah jalan bersejarah dimana Yesus berjalan beberapa belas abad yang lalu sambil memanggul salib. Raut mukanya kelihatan gelisah meskipun langkah nya tetap tenang dan seakan kakinya sudah sangat mengenal tempat yang akan dituju. Melewati sebuah shouq atau pasar yang di dominasi pedagang Arab dia mendengar suara adzan bergema dari salah satu menara mesjid bersejarah di Kota Tua tersebut memanggil umat Islam untuk melakukan sholat di penghujung senja hari itu . Suasana hatinya tidak menentu persis seperti suasana kota Yerusalem pada saat itu di akhir abad 19. Kejayaan kerajaan Ottoman Turki mulai memudar seiring dengan masuknya pengaruh imperialisme Inggris di belahan Timur Tengah. Siapa dia ? dia kembali bertanya dalam hati. Mimpinya semalam terasa terlalu nyata untuk di diamkan apalagi setelah terjadi dalam dua malam berturut-turut. Langkahnya sedikit melambat sewaktu sekelompok pelajar Yahudi keluar dari sebuah sekolah kitab Taurat. Dia tersenyum dan mensyukuri solidaritas beragama antar umat di kota dimana tiga agama tua dunia berpusat. "Aku akan menunggu mu di sebuah kedai kopi di bagian selatan Kota Tua, dekat Tembok Menangis" demikian pesan yang di ingatnya dari mimpi semalam.

Dia kenal dengan pemilik kedai kopi itu, seorang Yunani dan jemaat gereja Yunani Ortodok yang pernah berkunjung ke gereja nya beberapa tahun yang lalu untuk membantunya memasang patung Madonna di altar gerejanya. Hari mulai gelap sewaktu dia sampai di kedai kopi itu. "Shalom" sapa si pemilik kedai dalam bahasa Ibrani sambil menjabat tangan nya. "Shalom, leila tov" sapa nya kembali sambil mengucapkan selamat malam. "Qahwa?" tanya si pemilik kedai menawarkan minuman kopi. "Iya, terima kasih" jawab si pendeta muda sambil matanya memeriksa setiap sudut ruang kedai.

Tatapan matanya terhenti pada sebuah meja disudut yang paling dalam dari ruang kedai itu. Seorang wanita duduk seakan tidak terlihat oleh pengunjung lain meskipun dia memakai kostum baju yang seakan berasal dari jaman yang jauh lebih maju. Setelah menerima segelas qahwa dari pemilik kedai dia menghampiri meja itu dan duduk di hadapan wanita tersebut. Penampilannya yang menunjukkan bahwa dia bukan berasal dari jaman itu dan baju kaos dengan tulisan New York Yankees seolah tenggelam dari perhatian orang hanya dengan sebuah selendang yang menutup rambut dan bagian samping dari wajah wanita itu layaknya kebiasaan berdandan wanita Muslim di kota itu.

Dia seakan memiliki keahlisan untuk tidak dapat terlihat oleh pengunjung lain di ruangan itu. Wanita itu tersenyum dan berkata "shalom, akhirnya kita bertemu lagi. kamu masih kelihatan sama...". "Anda siapa?....sepertinya telah mengenal ku" pendeta muda itu bertanya dengan sopan sambil menghirup kopi panasnya. Kembali wanita itu tersenyum, sebuah senyum yang sangat ramah dan tulus yang membuat si pendeta merasa pernah mengenalnya. "Shalom, artinya damai kan? aku suka kata itu" katanya. "Aku juga senang kamu masih suka memegang itu" tambahnya lagi sambil menunjuk rosario yang terbuat dari mutiara hitam yang terlilit di tangan kiri pendeta muda. " ..dan masih tetap di tangan kiri, padahal tangan kananmu sudah tidak perlu lagi memegang pedang untuk menghadang serangan musuh -musuhmu" lanjutnya sambil tetap tersenyum. Si pendeta muda tertegun mendengar wanita itu berbicara mengenai rosario nya. Sebuah rosario yang telah dia milik seumur hidupnya dan merupakan warisan yang dia sendiripun tidak yakin atas asal usulnya. "Apa yang anda ketahui mengenai rosario ini?" tanya si pendeta. "Kamu pernah menitipkannya sebentar kepada ku" kata wanita itu "...sewaktu aku membantu mengobati lukamu dari panah yang menembus baju perangmu dalam sebuah pertempuran".

Mendengar kata panah tiba-tiba ingatan pendeta muda itu seakan meloncat ke tempat yang jauh di seberang lautan dan ke sebuah waktu yang jauh kebelakang. Sekilas terlihat gambar medan perang dengan latar belakang sebuah benteng kastil di benaknya dan seorang ksatria berambut panjang tergerai menyentuh baju jazirah yang berat dengan pedang terhunus di tangan kanan dan rosario di tangan kiri. Mungkinkan orang itu aku? dia bertanya dalam hati."Aku butuh bantuan mu sekarang" kata wanita itu sambil dengan lembut mengambil rosario dari tangan si pendeta muda dan melilitkannya ditangan. ”Bantuan seperti apa?” kata si pendeta muda. “Aku ingin bisa seperti mutiara - mutiara hitam ini” katanya lagi. “Apa maksudmu?” tanya si pendeta muda. ”Tolong bantu aku keluar dari rumah kerangku sehingga aku dapat menyebar kebahagian kepada orang lain dan juga diriku sendiri” kata wanita itu.

Terlihat sedikit kesedihan di matanya ketika dia berkata begitu meskipun bibirnya tetap tersenyum ramah. ”Aku bisa membantu mu dengan berdoa untuk mensyukuri apa yang kamu miliki dan untuk dapat mendengar suara hatimu. Dengarkan suara hatimu untuk mencari kedamaian dalam dirimu sendiri sebelum kamu menyebar kebahagian kepada orang lain ” kata si pendeta muda. ”Mungkin kamu tidak merasa, tapi aku melihat mu berdoa bersama seorang anak perempuan kecil dua hari yang lalu” kata wanita itu. Si pendeta muda kelihatan tidak terlalu terkejut dengan pernyataan wanita misterius itu. Dia dapat merasakan bahwa mereka telah saling bertemu dalam sebuah kehidupan yang lain dan sejak itu wanita ini telah beberapa kali hadir di dekatnya tanpa dia sadari.”

Anak perempuan itu merasa kehilangan karena dia merasa tidak ada yang menuntunnya” si pendeta muda menjelaskan kesedihan yang dirasakan oleh seorang gadis kecil yang dia temui sedang menangis di tangga sebuah rumah musim panas yang terletak di luar tembok Kota Tua sekitar dua hari yang lalu. ”Maukah kamu membantuku berdoa seperti itu” tanya wanita itu. “Berdoa denganku seperti yang kamu lakukan dengan gadis kecil itu” pintanya lagi memohon. ”Pasti aku akan membantumu” kata si pendeta muda sambil tersenyum. ”Terima kasih, dan bila aku sedang jauh darimu, peluk aku dengan doamu, ya?” kata wanita itu sambil kembali tersenyum. Kesedihan yang sempat mampir di matanya tadi kini sudah tidak terlihat lagi dan sudah berganti dengan sorot kelegaan. ”Kamu akan pergi lagi?" kata si pendeta muda. ”Iya, aku tidak bisa lama disini, tapi aku pasti kembali menemuimu lagi" wanita itu berjanji sambil tersenyum. ”Kalau begitu aku titipkan lagi rosario ditangan mu itu sampai kita bertemu kembali" kata si pendeta muda.

Kali ini mereka berdua tersenyum bersama.

Baca juga "Kota Tua Yerusalem" di sambilngupi! Kedua tulisan ini dibuat oleh dua orang dengan sudut pandang yang berbeda.

Image reference: The Black Pearl Inc (Jewelry Catalogue)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home